Jombang - Suryati, warga Dusun Kemambang, Desa Tondowulan, Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang hanya bisa pasrah melihat penyakit anak semata wayangnya yang tak kunjung sembuh.
Janda satu anak ini mulai putus asa, lantaran tidak memiliki uang untuk mengobati anaknya bernama Ainur Syifa (11), yang menderita ganguan syaraf otak sejak bayi.
Suryati sehari-hari tinggal hanya berdua bersama putrinya di rumah peninggalan orangtuanya. Kondisi ini diperparah oleh pemandangan putri semata wayangnya hanya bisa berbaring di kasur yang digelar di atas lantai rumah.
Baca juga: Rusminah, Warga Miskin Terkena Stroke di Sidoarjo yang Butuh Bantuan
Wanita 52 tahun itu menjelaskan, putrinya sejak kecil telah divonis dokter mengidap ganguan syaraf otak. Gejala penyakit itu sudah terlihat sejak awal lahir pada 11 tahun lalu.
Kala itu, bayi perempuannya terlahir dengan denyut jantung tidak normal. Juga mengalami kejang dan tidak menangis selama 11 hari sejak lahir.
"Pas mau lahiran itu awalnya saya pendarahan di rumah. Terus dibawa ke rumah sakit dan melahirkan normal. Lahir itu detak jantungnya satu dua tiga gitu. Di hari keempat itu muncul gejala kejang bayinya, terus diobati sembuh," ungkap Suryati saat ditemui di rumahnya, Senin (27/6/2022).
"Kemudian anak saya tidak nangis sampai hari ke-11. Malamnya itu mulai nangis, terus saya bawa pulang," terang Suryati sembari mengelus kepala Syifa.
Suryati mengatakan, pada saat anaknya berusia 4 bulan, ia menyadari ada keanehan. Pada usia itu, umumnya perkembangan bayi sudah terlihat. Namun Syifa tidak menunjukkan perkembangan normalnya bayi berusia 4 bulan.
Mendapati hal itu, Suryanti membawanya ke dokter spesialis anak di Jombang. Dari situ, ia mengetahui putrinya mengidap ganguan syaraf otak.
"Dari hasil USG terdapat lendir di otaknya. Katanya gangguan syaraf otak," paparnya.
Baca juga: Tolong! Bocah di Surabaya Menderita Tumor Mata Stadium Akhir Butuh Bantuan
Sudah jatuh tertimpa tangga, kondisi perekonomian Suryati kian memburuk. Lantaran sang suami menceraikannya saat usia Syifa 1 tahun.
Kini dia terpaksa harus berjuang sendiri untuk mencari uang demi kesembuhan putrinya. Dengan mengandalkan pendapatan yang tak menentu dari pembuatan gerabah secara tradisional di rumahnya.
Penghasilan yang hanya Rp 350 sampai 500 ribu sebulan hanya cukup untuk kebutuhan makan dia dan anaknya sehari-hari. Kondisi ini membuat Suryati harus mengubah cara pengobatan anaknya itu.
Semula Syifa berobat ke dokter. Namun kini ia terpaksa harus berobat ke alternatif, yang harganya jauh lebih murah dan terjangkau.
Ditanya sampai saat ini apakah Syifa masih berobat ke alternatif, Suryati mengaku tak lagi membawa Syifa untuk berobat. Pasalnya, ia kini tak memiliki biaya.
Baca juga: Posko Gotong Royong PDIP Surabaya Bantu Permakanan Warga Sakit dan Lansia
"Akhir-akhir dia umur 9 tahun itu saya pasrah, karena tidak ada duit. Penghasilan membuat gerabah hanya Rp 350 ribu paling sedikit dan paling banyak Rp 500 ribu, itu sebulan. Cukup ndak cukup saya cukupin. Kalau sekarang upaya berobat saya nyerah, sudah pasrah," terang dia.
Dan kini kondisi Syifa saat ini hanya bisa berbaring di kasur. Tubuh Syifa terlihat kurus dan lemas. Sesekali ia berpindah tempat dengan cara mengesot untuk menghampiri ibunya yang membuat gerabah dari tanah liat di dalam rumah.
Meski tidak bisa duduk maupun berjalan, Syifa masih mampu diajak berkomunikasi. Namun untuk ngomong, Syifa tidak bisa bicara secara lancar seperti orang pada umumnya.
Keinginannya bersekolah dan menjadi dokter gigi sempat terlontar saat wartawan menemuinya. Ucapan Syifa sontak membuat Suryati menitihkan air mata.
"Pingin (jadi) dokter gigi," ucap Syifa terbata-bata.