jatimnow.com - Gunung Pucangan yang berada di Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang dikenal sebagai tempat yang tidak sembarangan.
Gunung ini dianggap suci, lantaran dijadikan tempat pertapaan Dewi Kili Suci, putri Raja Airlangga penguasa Kerajaan Kadiri.
Dian Sukarno, salah satu penelusur sejarah Jombang mengatakan, Gunung Pucangan merupakan tempat yang dipilih Dewi Kili Suci untuk melakukan pertapaan.
Baca juga: Napak Tilas Misteri Jejak Islam Pertama Kali Masuk Sidoarjo
"Setelah ia tidak mau dijadikan putri kerajaan oleh Raja Airlangga yang merupakan ayahnya sendiri. Dewi Kili Suci ini bertapa ke Gunung Pucangan," ungkap Dian, Selasa (11/10/2022).
Dian menyebut bahwa Dewi Kili Suci merupakan anak pertama dari Raja Airlangga dan Putri Galuh.
"Airlangga yang baru berusia 16 tahun menikah dengan Galuh Sekar, putri Dharmawangsa Teguh yang tak lain pamannya sendiri," paparnya.
Dian menambahkan, Dharmawangsa Teguh merupakan penguasa Kerajaan Medang yang berpusat di Watan, sekarang diperkirakan menjadi wilayah Maospati, Magetan.
"Sedangkan Airlangga putra pasangan Raja Udayana dan Mahendradatta. Ayahnya menjadi Raja Bedahulu di Gianyar, Bali dari Wangsa Warmadewa. Sedangkan ibunya putri Raja Sri Makutawangsawardhana, penguasa Kerajaan Medang periode Jatim dari Wangsa Isyana," bebernya.
Baca juga: Masjid Jami' Nurul Huda, Jejak Penyebaran Islam di Bojonegoro
Dian melanjutkan, Raja Sri Makutawangsawardhana merupakan cucu Mpu Sindok, raja pertama Kerajaan Medang periode Jatim yang berkuasa pada 929-947 masehi.
"Prabu Airlangga itu memiliki tiga keturunan yang pertama Dewi Kili Suci, Lembu Amiluhur dan Lembu Amerdadu," ucapnya.
Karena tidak ingin dijadikan putri kerajaan, Dewi Kili Suci memilih untuk melakukan pertapaan di Gunung Pucangan.
"Karena Dewi Kili Suci ini tidak mementingkan keduniawian, jabatan sehingga memilih bertapa," imbuhnya.
Baca juga: Foto: Bernostalgia dengan Srimulat di Alun-alun Surabaya
Hanya saja Dian masih belum bisa memastikan apakah Gunung Pucangan merupakan tempat makam Dewi Kili Suci dan makam dari dayang-dayangnya.
"Kalau saya lebih pasnya itu menyebutnya petilasan," tegasnya.
Landasannya, sambung Dian, karena saat ini masih belum ada artefak atau batu yang menunjukan itu konsep makam atau hanya petilasan.
"Itu yang harus dipelajari lebih lanjut, karena makam-makam itu tidak ada namanya. Kalau Hindu-Buddha kan tidak ada makam," pungkas Dian.