jatimnow.com - Ribuan petani bakal menggelar aksi serentak pada peringatan Hari Tani. Sekitar 12 ribu petani dijadwalkan akan bergerak ke Gedung DPR RI di Jakarta, sementara 13 ribu lainnya turun ke jalan di berbagai daerah. Tuntutan mereka ringkas dan tegas: menuntaskan 24 masalah struktural agraria dan menjalankan 9 langkah perbaikan.
“Melalui aksi ini, para petani akan menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan atas 24 masalah struktural (krisis) agraria akibat 65 tahun UUPA 1960 dan agenda reforma agraria yang tidak dijalankan lintas rezim pemerintahan,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam konferensi pers 21 September 2025 di Jakarta.
Di Jakarta, barisan petani bergabung dengan buruh, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil. Mereka datang dari Jawa Barat dan Banten: Serikat Petani Pasundan (Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran), Serikat Petani Majalengka, Serikat Pekerja Tani Karawang (Sepetak), Pemersatu Petani Cianjur, Paguyuban Petani Suryakencana Sukabumi, Pergerakan Petani Banten (P2B), dan Serikat Tani Mandiri Cilacap.
Baca juga: Lita Machfud Arifin Salurkan Sembako pada Komunitas Difabel Surabaya
Aksi serentak juga digelar di Aceh Utara, Medan, Palembang, Jambi, Bandar Lampung, Semarang, Blitar, Jember, Makassar, Palu, Sikka, Kupang, dan Manado.
Ketua P2B Abay Haetami menyebut konflik lahan di Banten berlangsung atas nama ketahanan pangan. “Banyak terjadi konflik antara petani dan aparat militer yang mengambil alih tanah rakyat, menghancurkan pohon dan tanaman yang selama ini menjadi penopang ekonomi keluarga, lalu menggantinya dengan jagung,” ujarnya.
Ia juga menyinggung pembatasan akses nelayan. “Di pesisir Ujung Kulon, nelayan kerap tidak boleh menghampiri pulau untuk berlindung saat cuaca buruk, bahkan dituduh sebagai pencuri.”
Dari Blitar, May Putri Evitasari dari Paguyuban Petani Aryo Blitar menegaskan pentingnya kepastian lahan bagi generasi muda.
“Kami mendukung perjuangan orangtua yang menuntut redistribusi lahan dan penetapan status kepemilikan tanah agar generasi kami punya pekerjaan. Di desa, akses pendidikan sulit; sementara tanah keluarga sudah tidak ada, banyak yang terpaksa merantau ke kota atau ke luar negeri, sesuatu yang sebenarnya tidak kami inginkan,” katanya.
Di Karawang, identitas sebagai lumbung padi kian tergerus. Rangga Wijaya (Sepetak) menyoroti alih fungsi lahan. “Banyak lahan berubah menjadi kawasan investasi yang menyingkirkan kaum tani dari sumber kehidupannya,” ucapnya.
Anggota Dewan Nasional KPA Dhio Dhani Shineba menilai respons aparat di lapangan cenderung represif. “Di berbagai wilayah, perlakuan aparat polisi dan militer semakin brutal terhadap aksi dan tuntutan petani nelayan. Sudah 31 tahun KPA menagih janji reforma agraria, dan itu akan terus kami lakukan,” ujarnya.
Baca juga: Demo Reda? Kacung Marijan: Presiden Harus Atasi Akar Masalah!
KPA mencatat gelombang protes menguat sejak 25 Agustus 2025. Menurut Dewi, situasi ini merupakan “sinyal darurat” atas kinerja pemerintah. Ia menilai Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) tidak efektif menyelesaikan akar masalah.
“GTRA gagal menjalankan reforma agraria; ketimpangan penguasaan tanah memburuk, petani makin gurem bahkan kehilangan tanah. Gugus tugas ini menghabiskan anggaran untuk rapat, sementara kanal penyelesaian konflik tidak ada. Kementerian Agraria, Kehutanan, BUMN, Pertanian, Desa PDTT, Koperasi, TNI–Polri dan lembaga lain masih abai terhadap masalah kronis agraria,” tegasnya.
Menurut KPA, 1% kelompok elite menguasai 58% tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi; 99% penduduk memperebutkan sisanya. Sepanjang 2015–2024, terjadi 3.234 konflik agraria dengan area terdampak 7,4 juta hektare. Dampaknya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah dan mata pencaharian.
KPA menilai akar persoalan juga terkait ekspansi proyek berskala besar. “PSN, food estate, otorita pariwisata/KEK, bank tanah, dan militerisasi pangan meluas ke kampung dan desa, menutup akses petani dan masyarakat adat terhadap tanah, serta membatasi nelayan di wilayah tangkap,” kata Dewi.
Ia menegaskan mandat UUPA 1960 sebagai perwujudan Pasal 33 UUD 1945. “Baik pemerintahan Jokowi maupun pemerintahan Prabowo saat ini gagal melaksanakan reforma agraria sebagaimana diamanatkan UUPA 1960,” tambahnya.
Baca juga: DPR RI Lita Machfud Arifin Salurkan Sembako untuk GARDA Jawa Timur
Aksi Hari Tani mengusung dua agenda utama yang saling terkait. Pertama, penyelesaian 24 masalah struktural agraria yang mencakup ketimpangan penguasaan tanah, konflik berkepanjangan, kriminalisasi pembela ruang hidup, hingga ketiadaan mekanisme lintas lembaga yang efektif.
Agenda ini menegaskan bahwa akar persoalan tidak sekadar administratif, melainkan sistemik dan membutuhkan koreksi menyeluruh agar hak atas tanah dan ruang hidup benar-benar terlindungi.
Kedua, dorongan sembilan langkah perbaikan sebagai jalan operasional untuk membenahi keadaan: redistribusi lahan bagi petani kecil, kepastian status dan sertifikasi tanah sesuai UUPA 1960, moratorium perampasan ruang hidup, penghentian militerisasi pangan, serta pemulihan akses pesisir dan pulau-pulau kecil demi keselamatan nelayan tradisional.
Sebagai tindak lanjut, rincian teknis dari kedua agenda tersebut akan diserahkan oleh delegasi petani kepada DPR RI pada hari aksi.