jatimnow.com - Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai tak lagi berimbang. Sebab, sejumlah poin dinilai terlalu memberikan kekuasaan pada salah satu Aparat Penegak Hukum (APH).
Menyoroti hal tersebut, Universitas Trunojoyo Madura bersama sejumlah akademisi menilai terdapat tumpang tindih pada RUU KUHAP yang akan disahkan pada 21 Februari oleh DPR RI tersebut.
Dosen Pidana FH UTM , Prof. Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan mengatakan, pembentukan UU harus digodok secara matang, sehingga UU memiliki tujuan yang jelas.
"Terutama pada kewenangannya. UU itu harus mengatur kewenangan tiap APH supaya jelas dan tidak tumpang tindih," ujarnya, Senin (17/2/2025).
Ia juga mengatakan, aturan peralihan dalam RUU tersebut tidak boleh menimbulkan persoalan hukum acara yang akhirnya memunculkan UU sektoral.
"Sehingga, siapapun pembentuk UU harus memahami secara komprehensif," ungkapnya.
Baca juga:
Warga Banjar Bangkalan Gelar Doa Bersama untuk Mahasiswi EJ di Lokasi Kejadian
Pria yang menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia (DIHPA) itu juga menilai, saat ini RUU tersebut harus banyak direvisi. Apalagi terdapat sejumlah frasa yang masih ambigu.
"Salah satunya yakni pada frasa kewenangan lain yang dimiliki kejaksaan. Itu memiliki banyak arti, bisa berarti ketidakjelasan, lalu dia (kejaksaan) memiliki kuasa dan menurut saya artinya adalah tidak bisa melakukan penyidikan terutama penyidikan tipikor," jelasnya.
Sementara itu, salah satu advokat di klinik bantuan hukum UTM, Iing Solihin Firmansyah mengaku tidak setuju jika masyarakat bisa melakukan pelaporan hukum pidana ke kejaksaan. Menurutnya hukum pidana seharusnya hanya dilakukan oleh kepolisian.
Baca juga:
Bawaslu Bangkalan Kecam Tindakan Pelaku Pembunuhan terhadap EJ
"Saya tidak setuju kalau masyarakat bisa laporan ke kejaksaan atas kasus pidana karena itu seharusnya ranah kepolisian," pungkasnya.