Pixel Code jatimnow.com

Korupsi di Indonesia, Mengapa Jadi Berita yang Terasa Biasa?

Editor : Ali Masduki  
Ulul Albab. (Foto/Dok Pribadi)
Ulul Albab. (Foto/Dok Pribadi)

 

Oleh: Ulul Albab
Pengajar Pendidikan Anti-Korupsi, Ketua ICMI Jawa Timur

jatimnow.com - Penetapan seorang mantan Menteri Pendidikan sebagai tersangka korupsi menimbulkan perasaan campur aduk. Ada marah, kecewa, namun tak terlalu mengejutkan. Marah karena pendidikan adalah fondasi peradaban. Kecewa karena simbol reformasi digital dan generasi muda ikut terjerat korupsi. Namun, tidak kaget karena inilah realitas Indonesia yang kita hadapi.

Ironi ini begitu menyakitkan. Seorang menteri yang dulu dipuja-puja, diharapkan membawa inovasi dalam pendidikan, kini justru terjerat rompi oranye. Program laptop Chromebook, yang awalnya dipromosikan sebagai alat belajar digital, berubah menjadi lahan korupsi.

Kerugian negara mencapai hampir Rp 2 triliun, dana yang seharusnya bisa membangun ribuan sekolah atau memberikan beasiswa bagi ratusan ribu anak, malah lenyap dalam angka-angka fiktif.

Dalam perspektif administrasi publik, kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola. Birokrasi kita belum mampu mengelola pengadaan barang/jasa secara transparan dan akuntabel. Setiap pengadaan skala besar selalu berisiko, dengan ruang abu-abu antara harga pasar, spesifikasi teknis, dan kepentingan politik.

Pengadaan barang menjadi "ladang empuk" yang sejak lama menjadi sarang korupsi. Laptop, tas sekolah, bahkan seragam pun bisa menjadi ajang mark up. Seolah birokrasi kita sudah terbiasa dengan budaya manipulasi.

Ketika kasus Chromebook mencuat, publik lebih terfokus pada "siapa pelakunya" daripada "bagaimana modusnya," karena modus serupa sudah terlalu sering kita dengar.

Dari sudut pandang kebijakan publik, kita melihat bagaimana idealisme bisa gagal dalam implementasi. Program Merdeka Belajar, yang awalnya dielu-elukan, di tangan birokrasi yang lemah integritas, hanya menjadi jargon. Implementasi di lapangan justru menjadi ajang korupsi.

Inilah kegagalan sistemik kita: kebijakan tidak pernah dievaluasi dengan serius. Tidak ada independent policy review, tidak ada mekanisme audit real time yang melibatkan masyarakat. Evaluasi kebijakan seringkali hanya formalitas, laporan tebal, rapat resmi, tanpa keberanian menyentuh akar masalah.

Baca juga:
Anak Muda Geram! Pemerintah Dinilai Lambat Berantas Korupsi

Dalam teori korupsi, ini bukanlah hal baru. Teori principal–agent menjelaskan bahwa pejabat publik (agent) sering menyalahgunakan mandat dari rakyat (principal). Namun, dalam konteks Indonesia, masalahnya lebih dalam: masalah aksi kolektif (collective action problem). Korupsi menjadi "hal biasa," di mana banyak pejabat merasa, "semua juga melakukannya."

Maka, ketika seorang mantan menteri pun terjerat kasus korupsi, kita marah namun tidak terkejut. Ironi ini menyakitkan, namun tidak aneh, karena sistem kita masih mentoleransi, bahkan terkadang melanggengkan, praktik busuk tersebut.

Di sinilah publik menaruh harapan pada Presiden Prabowo Subianto. Penetapan tersangka ini bisa menjadi momentum emas. Jika Presiden berani melanjutkan bersih-bersih tanpa pandang bulu, beliau tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengirimkan pesan moral bahwa era kompromi dengan korupsi telah berakhir.

Kita tahu, ini tidaklah mudah. Jaringan korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu, tetapi sistem yang sudah mengakar. Namun, seorang presiden yang berjanji ingin menegakkan kedaulatan dan keadilan tidak boleh gentar. Inilah ujian kepemimpinan sejati: berani menegakkan hukum meski menyakitkan, meski melibatkan tokoh besar sekalipun.

Kasus ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua penyelenggara negara, bahwa rakyat sudah muak dengan korupsi, bahwa setiap rupiah uang negara adalah amanah, dan bahwa jabatan publik bukanlah tiket untuk memperkaya diri.

Baca juga:
Kejari Tulungagung Lakukan Penyidikan Kasus Dugaan Korupsi di RSUD dr Iskak

Korupsi di sektor pendidikan adalah pengkhianatan paling kejam, karena merampas masa depan generasi, membunuh kesempatan anak-anak kecil untuk belajar, hanya demi nafsu segelintir pejabat. Oleh karena itu, kasus ini harus menjadi titik balik.

Kritik keras ini kita sampaikan bukan untuk melemahkan negara, tetapi untuk mengingatkan: jangan lagi rakyat dikhianati, jangan lagi jabatan dijadikan alat korupsi, jangan lagi ada program idealis yang ujung-ujungnya hanya menjadi proyek bagi kroni.

Indonesia harus berani keluar dari lingkaran setan ini, dan itu hanya bisa terwujud jika pemerintah bersih-bersih sampai ke akar-akarnya. Jika tidak, ironi seperti ini akan terus berulang: menteri berganti, program berganti, namun korupsi tetap sama.

Ironi yang menyakitkan ini memang tidak aneh, tetapi justru karena itu, ia harus dihentikan. Agar kita tidak lagi terbiasa pada kebusukan, dan agar anak-anak kita tidak tumbuh dengan warisan bangsa yang dikhianati oleh pemimpinnya sendiri.

Ojol Sidoarjo Terlindungi BPJS Ketenagakerjaan
Ekonomi

Ojol Sidoarjo Terlindungi BPJS Ketenagakerjaan

Arie Fianto menjelaskan bahwa ojol termasuk dalam kategori Bukan Penerima Upah (BPU), yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan jaminan sosial dari BPJS Ketenagakerjaan.