jatimnow.com - Tanjung Perak mas kapal e kobong. Monggo mampir mas kamare kosong.
Parikan ini dilantunkan Yatim Subhakti di kediamannya, Jalan Kampung Malang V, Tegalsari, Kota Surabaya, ketika ditemui jatimnow.com.
"Parikan itu sering digunakan para gundik, germo, pelacur untuk menyambut para penumpang kapal baru turun. Khususnya para koloni-koloni tentara Belanda di pelabuhan," kata Yatim, Jumat (19/11/22).
Baca juga: Dolly, Lahan Sampah yang Menjelma Lokalisasi Terbesar Asia Tenggara
Bahkan, parikan itu sampai sekarang masih kerap terdengar di telinga.
Yatim berkisah, flashback di tahun 1910 silam, negara Indonesia belum merdeka dari penjajahan Belanda. Di sisi lain praktik prostitusi telah marak terjadi di pinggiran Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Tanpa ada ragu, ia menyebut, lokasinya berada di Pelabuhan Tanjung Perak. Tepatnya ada di Jalan Kalimas Timur, Kota Surabaya.
Pelabuhan menjadi tempat strategis bercokolnya transaksi seks di Surabaya. Sehingga waktu itu Jalan Kalimas Timur memiliki desain sebagimana perkampungan yang banyak berdiri barak-barak dan camp semipermanen.
"Pada tahun 1910, Jalan Kalimas Timur memiliki bentuk perkampungan kecil dengan barak-barak camp berjajar dan menjadi jujugan koloni Belanda setelah turun dari kapal di pelabuhan," lanjutnya.
WTS (wanita tunasusila), begitu Yatim menyebutnya. Profesi tersebut menjadi lumrah dilakukan masyarakat Indonesia, karena sulitnya perekonomian di masa penjajahan Belanda.
Hal serupa diungkap dalam buku; 'Pembangunan Pelabuhan Surabaya dan Kehidupan Sosial Ekonomi di Sekitarnya Pada Abad ke XX', yang menyatakan; Tanjung Perak bisa dikatakan sebagai pelabuhan cinta. Terdapat rumah-rumah bordil yang menjanjikan adanya kenikmatan (hal 132).
Sehingga, akibat dari maraknya praktik prostitusi di Surabaya berdampak pada munculnya sebuah penyakit kelamin sifilis, yang banyak diderita awak kapal Hindia Belanda, pegawai sipil maupun militer.
"Sampai-sampai berakibat pada munculnya wabah penyakit kelamin atau dikenal sifilis, pada kisaran tahun 1920-1942," imbuhnya.
Baca juga: Kisah Prostitusi Cemoro Sewu dan Makam Kembang Kuning Surabaya
Saksi bisu dalam rentetan sejarah, Yatim merinci, bahwa Jalan Kalimas Timur sekarang ini menjadi lahan permukiman warga dan area parkir truk-truk ekspedisi.
Sedangkan, bukti lainnya yaitu eks bangunan Lembaga Pusat Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Kelamin (LP4K) Surabaya, di Jalan Indrapura yang sempat menjadi Museum Kesehatan.
"Sehingga, dari situlah alasan mengapa pemerintah membangun sebuah Rumah Sakit Kelamin LP4K di Jalan Indrapura pada tahun 1951," rincinya.
Jatimnow.com pun mengayunkan langkah menuju lokasi eks LP4K di Jalan Indrapura nomor 17, Kecamatan Krembangan, Surabaya.
Penjaga Museum Kesehatan, Husnan, mengatakan, sebelum dijadikan museum, pada 1951 gedung ini adalah LP4K khusus penyakit kulit dan kelamin.
"Benar, jauh sebelum itu pada tahun 1951 bangunan ini digunakan sebagai tempat LP4K," ungkap Husnan.
Baca juga: Kremil Pernah Jadi Lokalisasi Terbesar di Surabaya Sebelum Dolly
Menurut Husnan, pada waktu dulu sekitar tahun 1950-1951 penyakit kelamin masih dalam kategori langka, masih minim obat dan dokter ahli.
"Penyebabnya adalah menjamurnya praktik prostitusi dan banyak kawanan penjajah yang hobi menjajaki tempat-tempat prostitusi tersebut," terang Husnan.
Sumber lain, Joko salah seorang warga Krembangan, Kota Surabaya menjelaskan, pasca-kemerdekaan 1945, gedung LP4K digunakan untuk karantina pasien sifilis, mayoritas aparat kepolisian dan tentara.
"Pascaperang dan merdeka, para pejuang aparat kepolisian dan tentara mengungkapkan rasa senangnya dengan berpesta cumbu, yang demikian berakibat pada merebaknya sifilis", ungkap Joko.
Gedung LP4K dalam perkembangannya sebelum menjadi museum kesehatan, pernah juga difungsikan sebagai tempat praktik aborsi ilegal.
"Perkembangan Rumah Sakit LP4K rentang tahun 2005 hingga 2007 sempat menjadi tempat praktik aborsi ilegal, meskipun juga ada yang legal," pungkasnya.