Opini

Skema Student Loan 2025: Solusi Emas atau Bom Waktu Finansial?

Jumat, 18 Jul 2025 12:15 WIB
Reporter :
jatimnow.com
Foto : Dr. H. Abid Muhtarom,SE.,MSE Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA)

Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil langkah besar yang akan mengubah wajah pendidikan tinggi nasional: peluncuran skema student loan atau pinjaman pendidikan bagi mahasiswa, yang akan dimulai pada Agustus hingga September 2025. Kebijakan ini hadir di tengah persoalan mendalam yang telah lama menggerogoti dunia pendidikan, yakni biaya kuliah yang semakin mahal dan tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Melalui kerjasama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga perbankan, dan LPDP, pemerintah berharap student loan mampu menjembatani kesenjangan ekonomi dan memperluas akses pendidikan tinggi.

Namun, di balik semangat pemerataan akses pendidikan tersebut, muncul kekhawatiran serius: apakah skema ini benar-benar menjawab kebutuhan mahasiswa, atau justru menciptakan jebakan finansial baru?. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, sebab sejarah panjang negara lain yang lebih dahulu menerapkan skema serupa justru menunjukkan sisi kelam dari sistem pinjaman pendidikan yang dikelola secara kurang hati-hati.

Sebagaimana diketahui, dalam skema yang ditawarkan pemerintah, mahasiswa akan menerima pinjaman biaya kuliah selama empat tahun masa studi. Setelah lulus, mereka diharuskan mengembalikan pinjaman tersebut dalam jangka waktu tertentu. Meskipun skema ini disebut bebas bunga, kewajiban untuk mencicil tetap berjalan, terlepas dari kondisi keuangan lulusan tersebut. Artinya, tanggung jawab pembayaran tetap berlaku, meski si mahasiswa belum mendapatkan pekerjaan yang layak atau berpenghasilan tetap.

Baca juga: KKN Unisla Lamongan Diharap Jadi Pemantik Peningkatan Kualitas SDM

Model seperti ini mengingatkan kita pada sistem student loan di Amerika Serikat, di mana pinjaman pendidikan menjadi bom waktu bagi generasi muda. Saat ini, utang pendidikan di negeri tersebut telah menembus angka fantastis: lebih dari USD 1,7 triliun, dengan 44 juta lebih peminjam. Banyak dari mereka terlilit cicilan selama puluhan tahun, bahkan ada yang masih membayar pinjaman kuliah saat anak mereka sendiri sudah memasuki perguruan tinggi. Jika Indonesia tidak belajar dari kasus ini, bisa jadi kita justru sedang mengimpor krisis dalam balutan solusi.

Pengalaman yang tak kalah mengkhawatirkan juga dialami oleh Britania Raya, di mana skema pinjaman pendidikan awalnya digadang-gadang mampu meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar mahasiswa di sana justru gagal melunasi pinjaman mereka, karena sistem pengembaliannya yang tidak proporsional terhadap penghasilan pasca-kelulusan. Akibatnya, pinjaman tersebut terus berbunga hingga menjadi beban jangka panjang.

Belajar dari dua negara tersebut, Indonesia semestinya menyadari bahwa student loan bukan sekadar urusan teknis pinjam-meminjam, tetapi menyangkut masa depan ekonomi dan psikologis generasi muda. Maka, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: apakah kita memiliki sistem sosial dan ekonomi yang cukup kuat untuk menopang skema ini tanpa menjadikannya beban berkepanjangan?

Di tengah kondisi tersebut, muncul pula fenomena lain yang tak kalah membahayakan: kemunculan fintech lending atau pinjol berkedok pendidikan. Sebagian masyarakat mulai menyamakan student loan dengan pinjol karena trauma akan praktik pinjaman online yang marak beberapa tahun terakhir. Masyarakat tentu masih ingat bagaimana pinjol menjebak dengan bunga mencekik, tenor yang tidak manusiawi, hingga teror penagihan yang merusak martabat. Jika pengawasan terhadap skema student loan longgar, bukan tidak mungkin lembaga keuangan ilegal memanfaatkan celah ini untuk meraup keuntungan atas nama pendidikan.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merancang desain skema yang transparan, adil, dan berpihak pada mahasiswa. Jangan sampai niat baik untuk memperluas akses pendidikan justru berubah menjadi alat penjajahan ekonomi gaya baru. Kebijakan student loan harus mengutamakan prinsip keberlanjutan dan perlindungan terhadap mahasiswa sebagai subjek pembangunan.

Pertama, sistem ini harus dirancang tanpa bunga dan tanpa biaya tersembunyi. Transparansi total menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik. Setiap mahasiswa yang mengambil pinjaman harus memahami secara jelas berapa yang dipinjam, kapan harus mulai membayar, dan bagaimana mekanisme pelunasan jika mereka belum memiliki penghasilan.

Kedua, pengembalian pinjaman harus berbasis pada penghasilan lulusan, bukan berdasarkan waktu. Model ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Australia, di mana mahasiswa hanya membayar pinjaman jika penghasilannya telah melewati batas minimum. Dengan demikian, sistem ini tidak akan menjadi beban psikologis bagi lulusan yang masih berjuang mencari pekerjaan.

Baca juga: Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan, Unisla Lamongan Tanam Padi PMJ 01

Ketiga, dibutuhkan literasi keuangan yang kuat sebelum mahasiswa menandatangani kontrak pinjaman. Pemerintah bersama perguruan tinggi harus memberikan edukasi finansial yang memadai agar mahasiswa memahami hak dan kewajiban mereka. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman atau jebakan kontrak yang merugikan peminjam.

\

Keempat, pengawasan dan regulasi ketat dari OJK dan Kementerian Pendidikan harus menjadi fondasi yang tidak bisa ditawar. Lembaga keuangan yang terlibat dalam skema ini harus lolos verifikasi ketat dan memiliki integritas serta rekam jejak profesional yang bisa dipercaya. Jika tidak, akan sangat mudah bagi oknum tertentu untuk menyusup dan memanfaatkan kelemahan sistem.

Terakhir, penting untuk diingat bahwa tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk manusia utuh. Maka kebijakan apapun yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk student loan, tidak boleh hanya dihitung dalam hitungan angka, bunga, dan cicilan. Ia harus dirancang sebagai instrumen peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan generasi muda.

Kita tentu berharap bahwa peluncuran student loan 2025 ini menjadi langkah awal menuju sistem pendidikan tinggi yang inklusif dan berkeadilan. Namun harapan itu harus dibarengi dengan pengawasan yang cermat dan desain kebijakan yang matang. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan mengubah wajah krisis pendidikan menjadi krisis keuangan generasi muda, yang ditandai dengan ijazah di tangan dan tagihan cicilan di pundak.

Pendidikan tinggi semestinya menjadi jalan pembebasan sosial, bukan jebakan utang jangka panjang. Maka, tugas kita bersama—pemerintah, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat—adalah memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar berpihak pada masa depan, bukan hanya angka partisipasi pendidikan yang naik semu.

Baca juga: Koperasi Merah Putih: Jalan Tengah Membangun UMKM dan Kedaulatan Ekonomi Desa

Jika kita ingin menciptakan masa depan yang lebih adil dan cerdas, maka student loan bukan sekadar soal akses, tetapi juga soal akal sehat dan keberpihakan.

 

Oleh : Dr. H. Abid Muhtarom,SE.,MSE
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA)

 

Ikuti perkembangan berita terkini Jawa Timur dan sekitarya di Aplikasi jatimnow.com!

Berita Terbaru
Tretan JatimNow

Terpopuler