jatimnow.com - Sahabat, pernahkah kita merasa lelah dengan hiruk-pikuk media sosial akhir-akhir ini? Di setiap lini masa, di setiap kolom komentar, seolah semua orang berlomba menjadi hakim atas hidup orang lain. Dunia maya yang semula kita anggap tempat berbagi, kini sering berubah jadi arena saling caci.
Kasus yang saat ini viral antara Yai Mim (mantan dosen UIN Malang) dan seorang perempuan bernama Sahara, mungkin menjadi cermin paling terang dari bagaimana etika kita di dunia digital sedang diuji.
Bukan hanya soal moral pribadi, tetapi soal bagaimana publik memperlakukan isu, membedah privasi, dan menelanjangi seseorang dengan dalih “netizen berhak tahu.”
Baca juga: Medsos dan Kesenjangan di Balik Demonstrasi, Ini Kata Pengamat
Benarkah kita berhak tahu segalanya? Ataukah sebenarnya kita hanya sedang memuaskan rasa ingin tahu meski dengan cara yang tak beretika?
Jangan Mengintai, Jangan Saling Mencela
Al-Qur’an telah lama menegur perilaku semacam ini dalam firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain...” (QS. Al-Hujurat: 12).
Ayat ini terasa seperti surat cinta yang terlambat dibuka di era digital. Betapa sering kita lupa bahwa “stalking” akun orang lain, menyebarkan tangkapan layar percakapan pribadi, atau ikut mengomentari urusan rumah tangga orang lain, sejatinya adalah bentuk tajassus, yaitu mencari-cari kesalahan pihak lain yang diharamkan.
Jika dulu menggunjing butuh ruang sempit di warung kopi, kini fitnah dan gosip bisa menjalar ke jutaan orang hanya lewat share dan repost. Yang lebih menyedihkan, banyak yang melakukannya sambil menulis “Astaghfirullah” di awal caption, seolah itu cukup untuk menetralkan dosa.
Ketika Jempol Lebih Cepat dari Akal Sehat
Dunia digital memberi ruang bagi setiap orang untuk bersuara. Tapi tak semua suara perlu dikeluarkan bukan? Kecuali untuk tujuan dakwah. Dakwah pun tetap harus “bil hikmah wal mau’idhotil hasanah”. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini terasa sederhana, tapi sulit dijalankan di dunia online. Kita sering merasa wajib berpendapat, padahal belum tentu paham duduk persoalan. Kita merasa sah ikut berkomentar, padahal kadang sekadar ingin tampil eksis.
Di sinilah letak krisis akhlak digital kita. Kecepatan informasi seringkali tidak diimbangi dengan kedalaman perenungan. Yang viral bukan kebenaran, tapi keberanian berkomentar paling tajam, paling keras, paling berani.
Coba kita refleksikan: berapa banyak reputasi hancur, karier rusak, keluarga pecah, hanya karena satu unggahan yang viral? Dan yang lebih memprihatinkan, betapa sedikit orang yang mau meminta maaf setelah tahu berita yang disebarkannya ternyata salah.
Baca juga: Solidaritas Warga, UKWMS Ingatkan Pentingnya Aksi Nyata di Era Digital
Akhlak Digital: Tanggung Jawab di Era Terbuka
Para ulama kontemporer kini sering menggunakan istilah “digital akhlak”, yakni bagaimana nilai-nilai Islam seperti sidiq (jujur), amanah (bertanggung jawab), dan iffah (menjaga kehormatan) diterapkan dalam aktivitas daring.
Prof. Azyumardi Azra (alm) pernah menulis bahwa pendidikan agama Islam di kampus tidak cukup hanya mengajarkan ritual. Tapi harus juga mengajarkan etika sosial dan digital. Karena dunia maya hari ini adalah ruang publik baru, tempat umat Islam berinteraksi, berdakwah, bahkan berselisih.
Sayangnya, dunia digital sering kehilangan ruh adab. Orang bisa menyapa “Assalamualaikum” di awal komentar, lalu menulis makian di kalimat berikutnya. Ironi yang nyata, tapi sering dianggap biasa.
Padahal, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan, “Lisan adalah cermin hati.” Dalam konteks digital, jempol adalah lisannya zaman modern. Maka siapa yang tak mampu menjaga jempolnya, berarti belum mampu menjaga hatinya.
Belajar Menahan Diri di Era Serba Cepat
Menjadi bijak di era digital bukan berarti anti-media sosial. Justru di sanalah tantangannya, yaitu: bagaimana kita tetap bersuara tanpa melukai, bagaimana berpendapat tanpa mencaci, dan bagaimana menjadi bagian dari solusi, bukan penyebar sensasi.
Baca juga: TikTok yang Menjatuhkan Perdana Menteri
Ketika kasus seperti Yai Mim dan Sahara mencuat, kita bisa belajar untuk tidak menambah bara. Tak semua yang kita tahu harus disebarkan, tak semua yang kita lihat harus dikomentari. Kadang, akhlak paling tinggi justru diam dan mendoakan.
Media sosial seharusnya menjadi sarana silaturahmi, bukan ladang dosa berjamaah. Karena setiap klik, komentar, dan unggahan akan dimintai pertanggungjawaban. Allah berfirman dalam QS. Qaf: 18, “Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.”
Menjaga Dunia Maya, Menjaga Jiwa
Akhlak digital adalah cermin iman kita hari ini. Dunia maya mungkin tak terlihat, tapi dosa dan pahalanya nyata. Menjaga etika bermedsos bukan hanya soal sopan santun, tapi bagian dari ibadah dan jihad moral di zaman yang serba terbuka.
Jangan biarkan jempol kita lebih cepat bergerak dibanding hati yang pastinya lebih bijak. Jangan biarkan media sosial menjauhkan kita dari makna kemanusiaan, sehingga tanpa terasa kita menjadi pasukan “syaithan.” Mari kita bermedsos secara bijak, agar kelak menjadi jejak digital yang membantu kita saat menghadapi hisab. (Salam Akhlaqul Karimah).
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur