Pixel Code jatimnow.com

Pakar ITS: Kelalaian Manusia Kunci Ambruknya Ponpes Sidoarjo

Editor : Ni'am Kurniawan   Reporter : Ali Masduki
Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo yang ambruk. (Foto/Basarnas Surabaya)
Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo yang ambruk. (Foto/Basarnas Surabaya)

jatimnow.com - Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren atau Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo beberapa waktu lalu memicu kembali perdebatan tentang standar keselamatan konstruksi, terutama pada bangunan bertingkat yang dibangun secara bertahap.

Menyikapi insiden tersebut, pakar teknik sipil dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Ir. Mudji Irmawan, menegaskan bahwa kelalaian manusia dan minimnya perhitungan teknis adalah akar dari keruntuhan struktural.

Dosen Departemen Teknik Sipil ITS inipun menjelaskan bahwa setiap pembangunan gedung bertingkat membawa risiko tinggi jika tidak didukung oleh perencanaan dan pengawasan yang ketat.

Berdasarkan temuan di lapangan, banyak kasus kegagalan struktur di Indonesia berakar pada kelemahan pada sambungan elemen dan proses pengawasan yang tidak optimal.

"Sebagian besar keruntuhan bangunan bukan murni kegagalan material, tetapi berawal dari kelalaian manusia dalam proses konstruksi itu sendiri," ungkapnya.ebih

Dalam analisisnya terhadap kasus di Sidoarjo, Pakar ITS Mudji menggaris bawahi risiko besar dari pembangunan yang dilakukan secara bertahap, atau yang dikenal sebagai konsep "gedung tumbuh." Praktik ini, di mana lantai ditambahkan di kemudian hari, sering dilakukan tanpa perhitungan ulang kekuatan struktur awal.

"Setiap penambahan lantai harus disertai perencanaan struktural yang baru dan komprehensif. Jika tidak, elemen-elemen di bagian bawah, seperti kolom dan balok, akan menanggung beban berlebih yang jauh melampaui kapasitas desain awalnya," jelas ahli teknik forensik tersebut.

Untuk mencegah risiko fatal ini, ia menuturkan mengenai perlunya disiplin dalam menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2847 tentang perencanaan beton bertulang. Standar ini sudah mengatur margin keamanan, termasuk menghitung batas kekuatan beton maksimal hanya 85 persen dari mutu material nominal untuk mengantisipasi variasi mutu di lapangan.

Baca juga:
Nogogeni VIII dan X Evo, Mobil Baru ITS Siap Berlaga di KMHE 2025

"SNI telah mengatur faktor keamanan secara detail. Jika diterapkan dengan disiplin penuh, potensi kegagalan struktur bisa kita tekan hingga seminimal mungkin," tegasnya.

Selain aspek teknis, aspek legalitas juga menjadi sorotan. Mudji menilai kelalaian dalam pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang menggantikan IMB sering kali membuat proyek berjalan tanpa verifikasi dan pengawasan teknis yang semestinya dari pihak berwenang.

"Perizinan bukan sekadar formalitas administrasi. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi keselamatan pengguna bangunan dari risiko keruntuhan," tegasnya.

Sebagai bentuk kontribusi nyata dari dunia akademik, Mudji mengatakan bahwa ITS membuka pintu lebar-lebar bagi masyarakat, termasuk lembaga pendidikan dan pesantren, untuk berkolaborasi.

Baca juga:
Panutan! Wisudawan Tertua ITS Raih Doktor di Usia 63 Tahun

"Kami siap membantu siapa pun yang ingin memastikan bangunannya aman secara teknis, melalui kegiatan konsultasi dan pendampingan teknis tanpa dipungut biaya," tandasnya.

Ia pun mengajak untuk memperkuat koordinasi antara akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat. Langkah ini tidak hanya untuk memenuhi standar keamanan nasional, tetapi juga sejalan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin tentang Infrastruktur dan Kota Berkelanjutan.

"Keselamatan konstruksi harus menjadi prioritas utama dalam setiap proses pembangunan, bukan sekadar pelengkap," pungkasnya.