jatimnow.com - Setiap pukul delapan pagi, di pinggir Jalan Sidomakmur, Sengkaling, Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, suara bungkus plastik terdengar lirih. Di lapak sederhana di depan toko bertuliskan “Ledoyam Frozen Food”, dengan logo Pertamina Gas Negara, tangan Fahmi (28) sibuk memasukkan frozen food berlabel Ledoyam ke dalam plastik. Ledoyam merupakan singkatan dari lele, dori, dan ayam. Tak jauh di belakangnya, Arba’i, sang terapis yang sabar, tersenyum bangga melihat anak didiknya melayani pelanggan satu per satu.
"Anak Surga" sebutan penyandang autisme, itupun terus melayani satu per satu pelanggan setia makanan beku hasil olahan penyandang autisme di MAC. Tentu, dalam bertransaksi rupiah, Fahmi terus dipandu oleh Arba'i, terapis yang sudah dua tahun mendampinginya. Para pembeli yang datang bahkan terlihat bahagia kala berinteraksi dengan Fahmi.
Selain warga sekitar, tak banyak yang tahu bahwa Fahmi adalah penyandang autisme. Lelaki yang memasuki usia dewasa awal asal Medan ini merupakan satu di antara belasan murid Malang Autism Center (MAC), lembaga penyedia layanan terapi perilaku bagi individu yang mengalami autism spectrum disorder (ASD). Ia mulai menjalani terapi di MAC pada usia 25 tahun.
Baca juga: Foto: Langkah Kecil Anak Autis Menuju Mandiri Lewat Frozen Food
Setelah beberapa saat mengamati, saya pun mencoba berkenalan dengan Fahmi.
Saya: “Nama kamu siapa?”
Fahmi: “Fahmi. Fahmi. Fahmi, iya.”
Saya: “Fahmi, aslinya dari mana?”
Fahmi: “Medan. Medan.”
Saya: “Umur berapa sekarang?”
Fahmi: “27. 27. 28.”
Saya: “Kamu jualan apa sih ini?”
Fahmi: “Lele. Lele.”
Saya: “Sudah setiap hari jualan?”
Fahmi: “Setiap hari jualannya.”
Saya: “Setiap hari, ya?”
Fahmi: “Iya.”
Saya: “Suka jualan?”
Fahmi: “Belum, nggak tahu.”
Saya: “Suka ya jualan, ya?”
Fahmi: “Suka.”
Saya: “Ini berapa lelenya?”
Fahmi: “26.”
Saya: “Harganya?”
Fahmi: “17 ribu, ya? Iya, Pak. Oh, 17 ribu.”
Itulah sedikit percakapan saya dengan Fahmi. Meski bicaranya terburu-buru dan sesekali membuang muka, namun ia sudah mampu berkomunikasi dan melayani pembeli. Tingkah laku Autism Spectrum Disorder (ASD) seperti gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta pola perilaku repetitif dan terbatas pun lambat laun memudar.
Perubahan drastis pada Fahmi rupanya tidak bimsalabim, ada perjuangan panjang di baliknya. Arba'i, terapis MAC mengaku butuh kesabaran dan mental yang kuat jika memilih profesi terapis autisme. Sebagaimana dirinya mendampingi Fahmi. “Harus sabar. Beda anak autis sama anak normal. Mental juga harus kuat,” ujarnya saat ditemui di lapak Ledoyam Frozen Food, pada Jumat (17/10/2025).
Arba’i bercerita, saat pertama kali mendampingi Fahmi, kondisinya belum stabil. “Awalnya itu, ngamuk-ngamuk. Nggak kondusif. Ditegur dikit langsung tantrum,” katanya mengenang. Namun, berkat terapi rutin dan pendekatan konsisten, perubahan mulai terlihat. “Sekarang Alhamdulillah, dia sudah jauh lebih tenang. Sudah bisa diajak ngobrol dan bekerja sama," kata terapis asal Medan tersebut.
Dua tahun lalu, ia menemukan cara baru untuk membuat Fahmi fokus melalui aktivitas nyata seperti berjualan.
“Sebelumnya Fahmi belajar di kelas. Tapi paling kuat 30 menit sudah nggak mau. Ketika kita ajak bikin produk lele frozen, dia malah semangat,” tutur Arba’i.
Kini, kegiatan produksi menjadi bagian dari terapi. Mereka membeli lele dari pasar, membersihkan, memotong, memarinasi, lalu mengemas sebelum disimpan di pendingin. “Lele satu bungkus harganya Rp15 ribu, kalau ayam Rp25 ribu,” kata Arba’i.
Lapak sederhana itu rupanya menarik perhatian Isnan Effendi, seorang pengunjung yang kebetulan melintas. Ia awalnya hanya ingin membeli makanan beku untuk keluarganya. Namun, siapa sangka, pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam.
“Nggak nyangka aja, di balik lapak kecil Ledoyam ini ada kisah sebesar itu,” ujar Isnan saat ditemui seusai berbelanja. “Salut buat Fahmi dan teman-teman di MAC, juga buat para terapisnya yang luar biasa sabar. Yang dijual mungkin frozen food, tapi yang aku bawa pulang justru pelajaran tentang semangat dan keberanian,” ucap Isnan
Usai berjualan, Fahmi gercep membantu Arba’i merapikan lapaknya. Ia ikut membongkar rakitan dan menyimpan di pojok gang masuk Malang Autism Center (MAC), tempat belasan penyandang autisme berlatih mandiri.
Pendiri dan CEO MAC, Mohammad Cahyadi mengatakan sejak berdiri pada bulan Oktober 2015 lalu, Malang Autism Center (MAC) memang menyediakan layanan yang ramah bagi anak ASD. Berbagai kegiatan difokuskan pada pengembangan kemandirian anak, serta didukung oleh fasilitas yang lengkap dan mendukung.
MAC memberikan layanan pada anak ASD dengan konsep boarding atau berasrama. Pihaknya menyiapkan tenaga terapis yang berpengalaman di bidangnya. Secara eksklusif, MAC menangani perbaikan perilaku anak ASD menjadi lebih adaptif serta berupaya menyiapkan mereka menuju kehidupan yang mandiri.
Lantas bagaimana Ledoyam Frozen Food akhirnya terwujud? Cahyadi bilang, lapak tersebut merupakan hasil program tanggung jawab sosial (CSR) Pertamina Gas Negara (PGN). "Pada Februari 2025 kita kan ada malam amal dana untuk anak-anak autism. Lalu salah satu sponsornya adalah dari Pertamina Gas Negara," kata dia. Ia menyebut, jumlah bantuan dari PGN sekitar Rp45 juta. "Sekitar Rp45 juta-an, tapi saya agak lupa berapa jumlah aslinya," terangnya.
Cahyadi menjelaskan bahwa sebagian dana yang diterima dialihkan untuk program Ledoyam, yaitu kegiatan berjualan produk hasil olahan anak-anak di pinggir jalan. Ia menuturkan bahwa pihak pendonor, dalam hal ini PGN, telah memberi izin penuh untuk pengalihan tersebut, dengan catatan dana yang disalurkan diterima secara utuh.
Dana bantuan itu kemudian dialokasikan untuk merakit sepuluh lapak, masing-masing senilai dua juta rupiah, termasuk biaya pendampingan. Saat ini, program Ledoyam telah berjalan selama empat bulan. Pihaknya masih memantapkan pelaksanaan di internal lembaga sebelum memperluas ke publik. Hingga kini, terdapat tiga titik lokasi kegiatan yang sudah aktif.
Baca juga: Foto: Menengok Terapi Autis di Malang Autism Center
"Nah, itulah sebabnya kenapa saya waktu itu minta izin. Dan akhirnya disetujui. Itulah sebabnya kenapa tetap lapaknya itu adalah pertamina gas," ungkap Cahyadi.
Konsep program tersebut berfokus pada produksi dan penjualan frozen food berbahan dasar lele, dori, dan ayam yang sepenuhnya dikerjakan oleh anak-anak penyandang autisme. Hasil produksi disalurkan melalui dua cara, yakni dijual langsung di pinggir jalan dan dititipkan ke sejumlah toko sayur di sekitar Malang.
Ia menyebutkan bahwa sejauh ini baru delapan toko yang bersedia menerima produk Ledoyam. Pola kerja sama yang digunakan masih berupa sistem konsinyasi, bukan pembelian putus. Barang biasanya dititipkan pada hari Senin dan diambil kembali pada Rabu atau Kamis untuk toko yang memiliki freezer. Sementara untuk toko tanpa freezer, barang yang tidak laku diambil keesokan harinya.
Karena program ini masih relatif baru, tingkat penjualan masih terbatas rata-rata hanya satu hingga dua bungkus per hari di tiap toko. Meski begitu, Cahyadi menegaskan bahwa tujuan utama program bukan pada keuntungan, melainkan pada proses pembelajaran dan pemberdayaan anak-anak.
Menariknya, seluruh proses, mulai dari pengolahan hingga penjualan dan distribusi, dilakukan oleh anak-anak autis itu sendiri dengan pendampingan terapis. Dengan demikian, kegiatan ini menjadi sarana latihan kemandirian dan interaksi sosial bagi mereka.
"Tentunya tidak bisa sendiri, jelas. Didampingi, iya. Tapi kan tetap dia bersama-sama terapisnya memang melakukan aktivitas karya. Dalam arti kata, ini contoh yang sekarang ini kan seni. Kalau di sana kan ekonomi, terampilan kemampuan kemandirian ekonominya dia," tegas Cahyadi.
Sebagimana di lapak Ledoyam Frozen Food, Fahmi sudah terlihat tenang, sudah paham perintah, dan kontrol emosinya juga bagus. Bisa dikatakan, dia bisa berjualan. Jika ada pembeli, Fahmi yang menyerahkan barang. Uangnya juga bisa diterima langsung oleh Fahmi, tapi yang menghitung tetap terapis.
Menurut Cahyadi, anak-anak sebenarnya sudah bisa berhitung, tetapi ada pertimbangan khusus. “Kami khawatir antreannya nanti terlalu lama. Kasihan juga pembelinya,” tuturnya. Ia menambahkan, konsep utama pendampingan adalah berusaha memahami dunia anak autis. “Di dunia normal, orang lain belum tentu bisa memahami anak autis. Karena itu, kamilah yang harus berusaha masuk ke dunia mereka,” kata dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa anak-anak juga dilibatkan dalam proses distribusi. “Kami yakin mereka bisa, terutama anak-anak yang sudah bisa naik motor,” katanya. Cahyadi optimis, ketika anak autis dilatih, dididik, diberikan ruang, diberikan kesempatan dan disupport, maka mereka bisa beradaptasi terhadap lingkungan.
Baca juga: Pertama di Jawa Timur, MAC Gelar Pameran Lukisan Anak Autisme
Program Ledoyam menjadi bukti bahwa dengan latihan dan kesempatan, anak-anak autis bisa berkembang.
“Ketika anak-anak ini dilatih, dididik, diberi ruang, kesempatan, dan dukungan, insya Allah apa pun bisa mereka capai,” tegasnya.
Ia menuturkan bahwa inti dari program ini bukan hanya soal berjualan, tetapi juga pembentukan rutinitas positif. “Memang muatannya edukatif. Tapi yang utama, mereka wajib punya kegiatan positif setiap hari. Itu yang membuat mereka lebih mandiri dan percaya diri,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), yang merupakan subholding gas dari PT Pertamina (Persero), terus menunjukkan komitmennya dalam membangun ekonomi masyarakat sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Corporate Secretary PGN, Fajriyah Usman, menyampaikan bahwa perusahaan menjalankan bisnis gas bumi dengan prinsip tanggung jawab sosial dan tata kelola yang baik. Menurutnya, keberlanjutan usaha tidak hanya diukur dari pencapaian finansial, tetapi juga dari dampak positif yang dirasakan masyarakat di sekitar wilayah operasi.
“Bagi PGN, tata kelola perusahaan yang baik menjadi pondasi utama dalam merancang strategi dan kebijakan,” ujar Fajriyah di Jakarta, Senin (29/9/2025). “Keberhasilan PGN tidak hanya diukur dari sisi bisnis, melainkan juga dari bagaimana kehadiran kami mampu membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan dan masyarakat,” sambungnya.
Fajriyah menambahkan bahwa PGN memandang tata kelola perusahaan dan keberlanjutan sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Melalui berbagai inisiatif sosial dan lingkungan, PGN terus berupaya menciptakan dampak yang nyata, baik dalam bentuk peningkatan ekonomi lokal maupun pelestarian sumber daya alam.
Berbagai program tanggung jawab sosial yang dijalankan PGN menjadi bukti bahwa perusahaan energi ini berkomitmen menghadirkan energi yang tidak hanya menggerakkan roda ekonomi, tetapi juga menumbuhkan kehidupan yang lebih berkelanjutan di tengah masyarakat.
Program CSR Pertamina Gas Negara di Malang berfokus pada pemberdayaan penyandang autisme melalui kegiatan produktif dan ekonomi kreatif. Kolaborasi dengan Malang Autism Center menjadi contoh bagaimana energi bisa hadir dalam bentuk kepedulian sosial mengalir, menghidupkan, dan memberi arti baru bagi kemandirian.
Fahmi mungkin tak mengerti kata ‘CSR’ atau ‘keberlanjutan’. Tapi setiap kali ia menyerahkan sebungkus frozen food ke pelanggan, ia sedang membuktikan satu hal sederhana, yakni kesempatan bisa mengubah hidup siapa pun.