jatimnow.com - Hari ini, 22 Oktober, Indonesia kembali merayakan Hari Santri Nasional. Tapi sejujurnya, Hari Santri bukan hanya milik mereka yang hidup di pondok dengan sarung dan kitab kuning. Hari Santri adalah milik semua yang masih setia menjaga moral, menegakkan kejujuran, dan mencintai negeri dengan cara sederhana tapi tulus.
Sejarahnya bermula dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Saat itu, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan jihad fi sabilillah melawan penjajah. Dari pesantren lah semangat perlawanan rakyat berkobar. Karena itu, Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Sebuah pengakuan negara atas peran ulama dan santri dalam lahirnya Republik.
Baca juga: Khofifah Ajak Santri Jatim Perkuat Peradaban dan Siapkan Generasi Indonesia Emas 2045
Tapi, peringatan Hari Santri hari ini punya makna yang lebih luas. Santri tidak lagi hanya mereka yang mondok dan tidur di bawah lampu minyak. Santri hari ini juga mereka yang bekerja dengan jujur di kantor, yang menolak sogokan di tengah godaan, yang menulis kebenaran di ruang digital yang bising.
Pesantren di Zaman Tak Lagi Sunyi Seperti Dulu
Pesantren hari ini bukan lagi tempat sunyi di pinggir sawah. Banyak pondok pesantren kini sudah punya laboratorium komputer, kanal YouTube, bahkan start-up ekonomi syariah. Santri belajar tafsir sekaligus coding, menghafal hadis sambil mengelola konten digital.
Namun di balik kemajuan itu, pesantren menghadapi persoalan baru. Sebagian masih bergulat dengan keterbatasan fasilitas. Ada yang tertinggal dalam literasi digital. Ada juga yang terkadang disalahpahami oleh publik karena potongan-potongan informasi yang tak utuh.
Kasus tayangan Trans7 tentang Ponpes Lirboyo Kediri beberapa waktu lalu menjadi contoh paling nyata. Dalam tayangan itu, potongan narasi tertentu menimbulkan persepsi miring terhadap kehidupan santri. Akibatnya, publik ramai, pesantren tersinggung, dan media dikritik.
Padahal, keduanya pesantren dan media seharusnya bersaudara. Yang satu mendidik akhlak, yang satu membentuk persepsi publik. Jika keduanya bersinergi dengan niat baik, masyarakat akan tercerahkan. Tapi jika salah paham, kecurigaan akan tumbuh.
Hikmah dari kasus itu sederhana: pesantren perlu melek media, dan media perlu melek pesantren. Santri perlu belajar cara berkomunikasi di ruang publik modern. Sementara jurnalis harus peka terhadap nilai, kultur, dan keagungan dunia pesantren.
Peluang dan Ancaman di Masa Depan
Baca juga: Gus Fawait Ajak Santri Jember Kuatkan NKRI dan Menjaga Peradaban Bangsa
Di masa depan, pesantren punya peluang besar menjadi kekuatan sosial baru. Bayangkan: ada lebih dari 40 ribu pesantren di Indonesia, dengan jutaan santri yang hidup berdisiplin, mandiri, dan berakhlak. Jika mereka diberdayakan dengan ilmu digital, kewirausahaan, dan literasi keuangan, mereka bisa menjadi motor ekonomi umat yang tangguh.
Tapi tentu ada ancaman. Dunia digital membawa arus deras informasi tak semuanya jernih. Ideologi ekstrem, komersialisasi agama, dan pragmatisme bisa menyusup jika pesantren tidak kuat menjaga integritasnya. Karena itu, pesantren masa depan harus berani berubah tanpa kehilangan akar.
Santri kini tidak cukup hanya pandai membaca kitab. Mereka harus juga bisa membaca zaman. Tidak hanya faqih dalam agama, tapi juga fahim dalam konteks sosial dan teknologi. Santri ideal bukan yang mundur dari dunia, tapi yang menyalakan pelita di tengah gelapnya dunia.
Menjadi Santri di Mana pun Kita Berdiri
Santri sejati bukan soal tempat, tapi soal sikap. Ia bisa lahir di pesantren, tapi juga di kampus, di pasar, di kantor pemerintahan, atau di ruang digital. Santri adalah siapa pun yang menjadikan ilmu sebagai cahaya, kejujuran sebagai napas, dan pengabdian sebagai tujuan.
Baca juga: Pimpin Apel Hari Santri, Mas Dhito Pastikan Program Keagamaan Tetap Berjalan
Maka peringatan Hari Santri seharusnya bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi menyalakan kesadaran baru: bahwa bangsa ini masih butuh semangat kesederhanaan, keikhlasan, dan pengabdian ala santri.
Santri adalah cermin kecil dari Indonesia yang kita cita-citakan: rendah hati tapi teguh, tradisional tapi adaptif, beriman tapi terbuka. Dan mungkin, justru dari kesederhanaan merekalah, bangsa ini akan menemukan kembali arah moralnya.
Selamat Hari Santri. Semoga setiap dari kita tetap menjadi santri di hati, di pikiran, dan dalam pengabdian pada negeri. (Salam Hangat dari ICMI).
Oleh: Ulul Albab
Alumni PP Qomaruddin Sampurnan-Bungah agresik
Ketua ICMI Jawa Timur