jatimnow.com - Setiap saat Surabaya terendam air, yang ngambang bukan cuma sandal atau sepatu, sepeda motor pun ngambang, saking tingginya air.
Puluhan motor yang berjajar di areal parkir Mayjen Sungkono (Surabaya) hanya terlihat bagian sadelnya saja. Ada juga yang cuma nyembul bagian stangnya. Lainnya tidak kelihatan sama sekali karena kelelep air.
Tidak perlu ditanyakan kapan kejadiannya, karena tragedi seperti ini terjadi dan terulang setiap tahun saat musim hujan dalam sepuluh tahun terakhir.
Setiap kali hujan lebat turun, dua atau tiga jam, sandal-sandal dan sampah mulai nyembul. Tidak lama kemudian sepeda motor ikut nyembul, kelihatan bagian sadelnya saja.
Pemandangan umum jamak di mana-mana. Orang-orang pada nyincing celana sampai ke atas lutut. Parade manusia menuntun sepeda motor mogok terlihat di mana-mana. Sambil menuntun motor mogok salah satu tangan masih menenteng kepiting dan ikan tombro, alias sandal dan sepatu.
Katanya, Surabaya sudah berpengalaman sepuluh tahun mengatasi banjir. Nyatanya pengalamannya baru setahun tapi diulang sepuluh kali. Artinya, dari tahun ke tahun pancet ae tidak ada perkembangan.
Dalam mengatasi masalah banjir Surabaya mengalami peningkatan, yaitu banjirnya meningkat makin tinggi. Dalam mengatasi kemacetan Surabaya mengalami sedikit kemajuan, artinya kendaraan maju sedikit-sedikit.
Walikota Cak Narto almarhum suka menjawab dengan bahasa suroboyoan kalau ditanya soal banjir. Kata Cak Narto kalau Surabaya mau tidak banjir pasanglah terop seluruh Surabaya, dijamin tidak banjir. Tentu, ini cuma guyonan suroboyoan ala Cak Narto.
Nyatanya sampai sekarang banjir tetap menjadi ritual tahunan rutin. Mungkin sebutannya saja yang beda. Dulu Cak Narto bloko suto, blak-blakan, menyebut istilah banjir. Sekarang tidak ada banjir. Yang ada hanya genangan air. Kadang tingginya di atas lutut, kadang di atas pinggang.
Genangan air itu ada yang mampir sebentar, tiga atau empat jam. Tapi sering banyak yang ndableg sampai nginap semalaman. Yang lebih ndableg lagi bisa nginap berhari-hari.
Tidak perlu dipikir beda banjir dan genangan, seperti juga tidak perlu dipermasalahkan beda mudik dengan pulang kampung. Kalau mau mudik ya mudik saja. Kalau mau pulang kampung ya pulang kampung saja. Mau banjir ya banjir saja. Mau genangan air ya genangan air saja.
Untuk mengatasi banjir eh genangan air, ada proyek boks culvert yang berfungsi two in one, beli satu dapat dua. Mengatasi genangan sekalian mengatasi macet. Di beberapa tempat genangan bisa diatasi meskipun tidak tuntas. Tapi proyek boks culvert ini bisa menimbulkan masalah baru.
Boks culvert adalah beton jenis precast berbentuk kubus segi empat ditutupkan di atas sungai seperti gorong-gorong raksasa. Di atasnya dibangun jalan dengan aspal tebal supaya bisa dilewati angkot maupun truk.
Seperti memotong celana. Bukannya tambah pendek tapi tambah tinggi. Jalanan mungkin berkurang macetnya, tapi sampah di sungai akan jadi masalah baru yang serius.
Baca juga:
Menatap Industri Hasil Tembakau di Masa Kepemimpinan Presiden Baru
Lihatlah sungai-sungai di Surabaya. Dari anakan sungai Brantas saja setiap hari harus diangkat 40 kubik sampah. Sungai-sungai kecil di sepanjang daerah Asemrowo sampai Sukomanunggal menghitam airnya dan dangkal oleh tumpukan sampah.
Pemandangan yang hampir sama terlihat di banyak wilayah di pinggiran Surabaya. Sungai yang terbuka saja tidak terurus dari sampah, bagaimana kalau sungai itu ditutup gorong-gorong yang rapat dan ditutupi aspal.
Pemandangan proyek boks culvert di pusat kota memang terlihat mulus dan rapi di permukaan. Tapi dalam jangka panjang ancaman sampah dan limbah kotor lainnya akan menjadi masalah serius. Ini sama saja dengan menyapu lantai tapi menyembunyikan sampah di bawah karpet. Dari luar terlihat indah tapi di dalamnya bau sampah.
Tata kota Surabaya terlihat indah dan permai dengan taman-taman cantik di pusat kota. Tapi, di pinggiran kota sampah dan pemukiman kumuh terlihat di mana-mana. Ibarat wanita cantik Surabaya cuma bersolek cantik di bagian wajah. Mukanya dirawat tiap hari dan diberi make-up dan kosmetik mahal. Tapi badannya tidak pernah diurus, dibiarkan nglombrot, pakai daster kumal dan sobek.
Wajah memang sumber pencintraan yang paling gampang mendapatkan puja-puji dari mana-mana. Wajah menjadi etalase yang membuat dagangan cepat laku. Tapi, tanpa tubuh yang sehat dan terawat sama saja dengan penampilan palsu yang menipu.
Sesekali bagian pinggiran Surabaya ini ingin merasakan kebaikan yang selama ini dinikmati bagian pusat kota Surabaya. Jangan cuma pusat kota saja yang menikmati kebaikan dalam bentuk taman-taman. Daerah-daerah pinggiran juga perlu menikmati kebaikan.
Warga Surabaya layak diperlakukan secara setara dan sederajat. Pembangunan Surabaya harus merata ke semua wilayah. Jangan hanya banjir saja yang merata, tapi kebaikannya tidak merata.
Baca juga:
Tarif Impor Pangan, Solusi Perkuat Keuangan Negara
Warisan kebaikan sepuluh tahun Bu Risma dalam bentuk taman-taman yang indah boleh dilestarikan. Tapi warisan "kebanjiran" yang ditinggalkan Bu Risma tidak boleh diteruskan.
Ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Tapi jangan nyolong sandal di masjid. Warga Surabaya ingin maju, bukan pancet apalagi mundur. Surabaya butuh kebaikan bukan kebanjiran.
Penulis adalah:
Dhimam Abror Djuraid
Wartawan senior Surabaya
*jatimnow.com tidak bertanggung jawab atas isi opini. Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
URL : https://jatimnow.com/baca-32005-kebaikan-bukan-kebanjiran