jatimnow.com - Aliansi Pelajar Surabaya dan Forum Pemerhati Pendidikan Surabaya menggelar aksi bertajuk 'Zonasi Solu-solu' di depan Gedung Negara Grahadi, Rabu (2/6/2021).
Aksi itu digelar karena mereka mengeluh dengan aturan zonasi yang diberlakukan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK 2021.
Mereka membawa beberapa poster berisi curhatan seperti, 'PPDB Jatim 2021 Berisi Tangisan' dan 'Zonasi Solusi Solu-solu'.
'Katanya Pemerataan Kok Rasanya Penderitaan', 'Kopiku Sepahit Janji Pemerintah', 'Beri Kami Solusi Bukan Basa-basi' dan 'Buat Kebijakan Buat Kami Jadi Korban'.
Ketua Aliansi Pelajar Indonesia, Mirza menyebut jika PPDB 2021 memunculkan masalah lagi terutama pada jalur zonasi.
Mereka mengaku sudah tidak tahan dengan kebijakan yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini.
"Akibat dasar kalimat pemerataan pendidikan, kami tidak terima. Kami menyerukan tahun 2021 liang lahat jalur zonasi," tegasnya.
Menurutnya, zonasi belum layak diterapkan dengan kondisi yang ada sekarang. Sebab, ada kecamatan yang belum ada sekolah negeri.
Bahkan ada yang menumpuk di satu kecamatan. Hal ini menimbulkan efek yang besar, banyak anak-anak yang tidak lolos.
Baca juga:
Ratusan Guru Swasta Demo di Kantor Pemkab Bojonegoro, Minta Diangkat PPPK
"Teman-teman yang tidak bisa masuk negeri, tidak bisa sekolah," jelas Mirza.
Ia menambahkan bahwa Aliansi Pelajar Surabaya menuntut pemerintah harus melakukan intervensi, bertanggungjawab atas anak-anak yang tidak bisa sekolah.
"Kalau atas dalih pendidikan, ndak usah zonasi-zonasi. Gugurkan saja, kandaskan zonasi tahun ini," tegasnya.
Mirza mengklaim, ada sekitar 3 ribu anak yang masih terombang-ambing nasibnya lantaran tidak diterima di sekolah negeri jalur zonasi.
Baca juga:
Mahasiswa Jember Demo Tuntut Presiden dan DPR RI Patuhi Putusan MK
Dia juga meminta dukungan Pemprov Jatim untuk mengakhiri zonasi pada PPDB. Kemudian menagih janji Wali Kota Eri Cahyadi untuk membantu para pelajar di Surabaya.
Ia menyebut, bagi yang ekonominya cukup akan mampu untuk lanjut ke sekolah swasta. Sementara yang kurang mampu belum menetukan nasibnya.
"Setiap malam saya di telepon, orangtuanya menangis karena tidak bisa sekolah," tandasnya.