jatimnow.com - Kuasa hukum terdakwa RH berharap Jaksa Penuntut Umum (JPU) obyektif dalam menuntut kliennya. RH merupakan dosen perguruan tinggi negeri di Jember.
Kuasa Hukum RH, Freddy Andreas Caesar meminta JPU tidak hanya menuntut berdasarkan ketakutan akan tekanan-tekanan atau opini yang diciptakan tanpa dasar. Namun tuntutan wajib didasarkan pada fakta-fakta yang muncul di persidangan.
RH didakwa melanggar Pasal 82 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 45 tentang Penghapusan KDRT setelah dilaporkan oleh Sekar (nama samaran) dan ibunya. Setelah dilaporkan ke Polres Jember, RH kemudian diadili di Pengadilan Negeri (PN) Jember.
Pengadilan sudah melakukan pemeriksaan terhadap korban, saksi, ahli dan terdakwa. Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan.
"Saya yakin JPU akan independen dan obyektif melihat fakta-fakta yang muncul di persidangan," kata Andreas seperti diterima redaksi, Rabu (20/10/2021).
Andreas menegaskan bahwa hukum di negara ini menganut asas praduga tak bersalah. Namun dalam kasus RH, sejak di penyidikan kepolisian, dari pemberitaan-pemberitaan di media, banyak pihak secara sengaja membangun opini publik dan memberikan stigma seakan–akan RH sudah terbukti bersalah secara hukum.
"Tujuannya untuk menekan aparat penegak hukum," tegasnya.
Menurut Andreas, dalam menegakkan hukum sudah seharusnya memegang teguh prinsip obyektifitas.
"Jika fakta yang tersaji di persidangan kurang cukup bukti, unsur-unsurnya lemah, ya jangan dipaksakan dituntut berat," terang dia.
Baca juga:
WNA Singapura Dosen di Tulungagung akan Dideportasi, Ini Riwayatnya sejak 1984
Dalam menegakkan hukum, lanjutnya, aturan mainnya juga jelas.
"Jangan sampai kita dalam menegakkan hukum malah melanggar aturan-aturan atau norma-norma yang pada hakikatnya keberadaan norma tersebut justru sebagai wujud penghargaan atas Hak Asasi Manusia (HAM)," paparnya.
Andreas mengungkapkan sebagian fakta yang muncul dalam persidangan. Misalnya pernyataan ahli psikiater. Ternyata pemeriksaan terhadap saksi korban tidak sesuai dengan prosedur seperti diatur dalam Permenkes.
Surat yang dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah surat keterangan psikiater, bukan Visum et Repertum Psyciatricum.
"Padahal sudah jelas dan tegas untuk kepentingan penegakan hukum sudah pasti harus Visum et Repertum Psyciatricum sesuai aturan Permenkes Nomor 77 Tahun 2015," tambah dia.
Baca juga:
Cara Ubaya Prospek Perusahaan untuk Produksi Massal Inovasi Karya Dosennya
Selain itu, bukti dari saksi ahli obsgyn (dokter spesialis kandungan) tidak berisi apa-apa. Tidak ada memar atau kelainan dari fisik pelapor.
"Untuk fakta-fakta persidangan lainnya, akan kami masukkan ke pledoi kami," tandasnya.
Karena itu, Andreas kembali mengulangi harapannya agar JPU independen dan tidak terpengaruh oleh pihak lain. Misalnya aksi-aksi dan berita-berita yang menyudutkan kliennya.
Untuk diketahui, RH dilaporkan ke Polres Jember atas dugaan melakukan pelecehan seksual terhadap keponakannya, pada Kamis (8/4/2021) lalu. Upaya menyelesaikan secara kekeluargaan juga sudah dilakukan.