Pixel Code jatimnow.com

Opini

Dinamika Muktamar Kaum Santri

Editor : Arina Pramudita  
Dr H Ahmad Fahrur Rozi
Dr H Ahmad Fahrur Rozi

jatimnow.com - Sejak lama warga jam’iyah NU terkenal sangat dewasa dan mampu mengelola perbedaan, mereka memiliki tradisi mengakhiri gegeran atau pertikaian menjadi ger-geran atau senda gurau.

Melihat dinamika pra muktamar NU ke-34 di Lampung saat ini, penulis ingin mengajak pembaca sekalian menengok sejenak ke belakang membaca nostalgia suasana kemelut di tiga muktamar sebelumnya, yakni Solo 2004, Makassar 2010 dan Jombang 2015. Dimana penulis sudah ikut hadir di ketiga muktamar tersebut, untuk dapat membandingkan suasana ketika itu dan fakta hari ini agar pikiran lebih adem dan tidak menjadi kagetan.

Pertama, menjelang pelaksanaan Muktamar ke-31 Nahdlatul Ulama di Boyolali, Jawa Tengah pada 28 November-2 Desember 2004. Satu bulan sebelum muktamar digelar, mulai bermunculan berbagai wacana dan manuver yang ujung-ujungnya menyangkut suksesi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Atau lebih mengerucut lagi perang wacana, isu dan opini antara pendukung KH Hasyim Muzadi dan kelompok yang menolak, yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid.

Dari sejumlah wacana dan manuver yang muncul, yang mungkin paling mengejutkan adalah pertemuan sejumlah Kiai senior di Museum NU Surabaya pada tanggal 23 November 2004. Pertemuan tersebut merumuskan empat opsi, pertama mengirim tim untuk menemui KH Hasyim Muzadi guna meminta agar yang bersangkutan tidak mencalonkan lagi.

Kedua, mengirim tim untuk menemui KH Mustofa Bisri (Gus Mus) untuk mau dicalonkan sebagai Ketua Umum PBNU mendatang. Ketiga, mengembalikan PBNU kepada dzurriyat (keturunan) KH Hasim Asy’ari. Keempat, mendorong Gus Dur untuk mau menjadi Rois Aam Syuriyah PBNU dengan catatan ada jaminan dilakukan secara sungguh-sungguh (Tempo, 23/11/04).

Setelah muktamar di Boyolali Solo 2004 terdapat tanda-tanda suhu ketegangan di dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) akan terus meninggi. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendapat mandat luas dari kalangan para Kiai sepuh (senior) akan mendeklarasikan NU baru di Pondok Pesantren Buntet, Jawa Barat.

Kyai sepuh "para begawan" NU konon berdiri di belakang pendirian "NU kembar". Bahkan santer terdengar para keluarga pendiri NU, yang dikenal sebagai Bani Hasyim, mendukung sepenuhnya manuver yang dilakukan Gus Dur sebagaimana dimuat Tempo (4/12/2004).

Opsi pembentukan NU tandingan kontan mengingatkan warga nahdliyin pada kemelut yang menyertai Muktamar ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1994. Dimana saat itu Abu Hasan yang dikalahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam perebutan ketua umum PBNU, akhirnya membentuk pengurus NU tandingan yang diberi nama Koordinasi Pengurus Pusat (KPP) NU.

Bahkan, KPPNU pimpinan Abu Hasan yang saat itu mendapat dukungan politik yang cukup besar dari pemerintah Orde Baru (Suharto) dan sempat menggelar muktamar luar biasa (MLB) di Asrama Haji Pondok Gede. Seiring perjalanan waktu, akhirnya organisasi itu kandas.

Abu Hasan sendiri akhirnya rujuk dengan Gus Dur dengan turut menemani Gus Dur dan Mbak Tutut (putri Mantan Presiden Suharto) masuk ke kantong NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah menjelang Pemilu 1997 yang menghasilkan suara cukup besar bagi Golkar dan Pemilu tahun itu (Tempo, 18/11/04).

Perkembangan pertikaian di tubuh NU pasca muktamar yang menjadi kian meruncing itu toh ternyata kemudian juga mereda dan tidak bisa bertahan lama. KH Hasyim Muzadi selaku ketum PBNU terpilih terbukti mampu mengelola konflik internal saat itu dengan bijak sehingga pertikaian akibat persaingan di tubuh NU memasuki babak baru yang tidak jauh berbeda dengan konflik-konflik sebelumnya seperti era Abu Hasan atau KH Syaichu setelah Muktamar Semarang yang berakhir damai dan NU terus maju kedepan.

Kedua, pada pelaksanaan muktamar NU Makassar 2010 suasana juga cukup menghangat, banyak pihak menilai menuduh adanya intervensi dari berbagai kepentingan yang mencoba membonceng muktamar para ulama itu.

Kesan intervensi ini diungkapkan mantan Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidlowi. Menurut Masduki, saking banyaknya intervensi, Muktamar NU kali ini tak ubahnya seperti Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1994.

Masduki mengatakan, pihak luar itu menuduh seakan-akan pengurus PBNU sekarang bekerja dan bertindak tidak berdasar prinsip khittah. Tuduhan itu, imbuh Masduki, mempengaruhi cabang-cabang dan wilayah yang mempunyai hak suara dalam pemilihan pengurus yang baru nanti.

Bentuk intervensi lain adalah para tim sukses pilkada dari berbagai daerah yang berdatangan ke muktamar. Mereka dinilai ingin mempengaruhi internal NU untuk mendukung atau merestui calon-calon tertentu di daerah.

Kader-kader dan pimpinan sejumlah parpol juga dikerahkan di arena muktamar. Tujuannya agar pasangan calon tertentu yang 'direstui dari atas' itu sukses di lapangan.

Alhasil kubu KH Hasyim muzadi harus menerima realitas kekalahan dengan cukup menyedihkan. Dimana saat itu pemilihan Rais Aam berlangsung secara voting dan dipenuhi teriakan dan tepukan layaknya kongres organisasi kepemudaan, hingga menyisakan trauma dan pemikiran agar pemilihan Rais Aam dilakukan secara lebih terhormat pada muktamar mendatang.

Ketiga, Muktamar ke-33 NU di Jombang yang masih terkenang segar di benak kita dengan hiruk pikuk sedemikian rupa, sehingga koran Jawa pos edisi 3 Agustus 2015 menulis judul sinis: Muktamar NU ricuh, Muhammadiyah teduh.

Muktamar diwarnai keributan tarik menarik pasal penetapan AHWA, KH Mustafa Bisri (Gus Mus) selaku Rais Aam sampai menangis di sidang pleno untuk menenangkan muktamirin membuat para Kiai sepuh prihatin (Detik, 3/8/2015).

Gus Mus terdengar penuh isak dalam menyampaikan sambutannya. Sementara suasana arena sidang hening. Semua muktamirin mendengarkan. Tak hanya menangis, bahkan Kiai yang terkenal dengan kerendahan hatinya itu sampai menyatakan akan mencium kaki muktamirin demi untuk menenangkan suasana.

Pasca Muktamar Jombang, Forum Lintas Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) yang merupakan pendukung Kiai Salahudin Wahid atau Gus Solah akan mengajukan gugatan hasil Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur. Mereka menilai hasil Muktamar itu cacat hukum.

Mereka menganggap pelaksanaan Muktamar cacat hukum karena banyak pelanggaran selama Muktamar berlangsung. Hal itu dinilai tidak sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) NU di antaranya banyak tahapan-tahapan pelaksanaan Muktamar yang dilompati, maupun hak-hak muktamirin yang tidak diakomodir, seperti penyampaian pemandangan umum untuk menyikapi laporan pertanggungan jawab pengurus demisioner dan lainnya.

Seperti kasus muktamar sebelumnya, seiring perjalanan waktu terjadi proses islah secara alamiah antara dua kubu muktamar Jombang dan suasana kembali mencair menyatukan kembali semua kelompok yang bertikai di Jombang tanpa menyisakan luka dendam.

Melihat dinamika tiga muktamar sebelumnya, Kondisi pra muktamar Lampung 2021 saat ini sesungguhnya jauh lebih kondusif. Suasana dinamis dan mayoritas pengurus wilayah berada dalam satu barisan pilihan yang sama, makanya penulis heran jika hari ini ada pihak yang menghawatirkan terjadi deadlock sehingga diperlukan majelis tahkim yang tidak pernah ada dalam muktamar sebelumnya, situasi ini aman dan tidak ada yang gawat kang!

Mari kita jalani muktamar dengan penuh optimisme dan rasa senang, mekanisme Ahwa sudah lebih dari cukup dan kembalikan semua kepada AD ART organisasi yang sudah mapan, Rais Aam dan Ketum PBNU dapat duduk bersama berunding dengan penuh kearifan tanpa perlu mengundang campur tangan pihak lain agar muktamar dapat berlangsung dalam damai dan penuh keikhlasan.

Penulis: Dr H Ahmad Fahrur Rozi

Penulis adalah Khadim Pondok Pesantren ANNUR 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jatim, Ketua Himasal Jatim 2015-2019.

*jatimnow.com tidak bertanggung jawab atas isi opini. Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang seperti diatur dalam UU ITE