Pixel Codejatimnow.com

Mengenal Monumen Bersejarah Bendungan yang Dikelola PJT I

Editor : Arina Pramudita  Reporter : Achmad Titan
Saat prosesi tabur bunga di Monumen bendungan PJT I. (Foto: Istimewa)
Saat prosesi tabur bunga di Monumen bendungan PJT I. (Foto: Istimewa)

Malang - Perum Jasa Tirta (PJT) I memperkenalkan monumen bersejarah di beberapa infrastruktur sumber daya air yang dikelolanya. Sejumlah monumen disebut masih menyimpan kisah tragis di balik megahnya bendungan yang dibangun.

Pertama adalah Monumen Metro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tugu Metro. Tugu ini terletak di tepi Jembatan Metro yang berada di wilayah Kepanjen, Kabupaten Malang.

Tugu ini dibangun untuk menandai kecelakaan tragis yang terjadi pada 21 November 1985 di lokasi setempat.

Saat itu, truk proyek yang mengantar pulang 80 orang pekerja Proyek Bendungan Sengguruh, terjatuh dan meluncur masuk ke jurang Sungai Metro. Sebanyak 49 orang meninggal dunia, dan sisanya luka-luka.

Monumen ini berbentuk empat buah bangunan serupa sayap yang mengapit papan trapesium bertuliskan nama para korban. Peristiwa ini menjadi bagian kisah pilu semasa pembangunan Bendungan Sengguruh yang saat ini berfungsi sebagai salah satu pengendali banjir dan menyuplai kebutuhan PLTA di sistem Sungai Brantas.

Berikutnya adalah monumen yang berada di area Bendungan Wlingi, Blitar. Monumen ini dikenal dengan sebutan Pathok Loding, karena bentuknya yang menyerupai pasak.

Monumen ini dibangun untuk mengenang pengorbanan dari para pekerja dan tenaga ahli yang gugur pada masa pembangunan Bendungan Wlingi (1974-1977). Salah satu peristiwa tragis yang terjadi adalah tergulingnya perahu yang mengangkut para insinyur Jepang yang hendak survei perencanaan bendungan.

Bendungan Wlingi saat ini bermanfaat untuk menyuplai kebutuhan irigasi seluas 12 ribu hektar sawah melalui saluran Lodagung serta membangkitkan PLTA dengan kapasitas 2x27 MW.

Monumen lainnya yang juga menyimpan kisah tragis terdapat di wilayah Tulungagung Selatan. Pada masa penjajahan (1942-1945), Jepang melaksanakan sistem kerja paksa atau romusha untuk membangun saluran sudetan banjir dengan mengalirkan air melalui terowongan yang menembus bukit Neyama (Gunung Selatan) untuk dibuang langsung ke Samudera Hindia.

Ribuan warga Tulungagung, Blitar dan Kediri dipaksa untuk bekerja membangun Parit Raya dan menggali terowongan. Mereka dipekerjakan tanpa upah dengan penuh penderitaan dan kelaparan. Ditambah dengan adanya wabah malaria yang mengakibatkan banyak pekerja yang meninggal dunia karena penyakit dan kelelahan.

Baca juga:
Sungai Bengawan Solo Bojonegoro Siaga Merah, Warga Harap Waspada!

Tahun 1986, proyek kembali diteruskan oleh pemerintah. Dan untuk mengenang jejak kekejaman ini, dibuatlah sebuah monumen di kawasan Terowongan Neyama yang bernama Monumen Sukamakmur.

Dalam rangka peringatan Hari Bakti PU ke-67, PJT I melaksanakan kegiatan tabur bunga dan upacara penghormatan secara serentak di sejumlah monumen bersejarah tersebut. Selain itu, dilakukan juga takziah ke beberapa makam para Menteri PU.

Di antaranya ke makam Ir Sutami selaku Menteri PU tahun 1966-1978 sekaligus Tokoh PU yang namanya diabadikan sebagai nama Bendungan di Brantas. Ia meninggal tahun 1980 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.

Selain itu, tabur bunga juga dilakukan di makam Ir Soenarno selaku Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah tahun 2001-2004 di Solo, dan Ir Mananti Sitompoel selaku Menteri Pekerjaan Umum pada kabinet darurat tahun 1948-1949 dan 1950.

Prosesi tabur bunga di Monumen bendungan PJT I.Prosesi tabur bunga di Monumen bendungan PJT I.

Baca juga:
Pengembangan Perusahaan dan Pelayanan Jadi Fokus PJT I, Begini Tujuannya

Direktur Utama PJT I, Raymond Valiant Ruritan menyampaikan, kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meneladani setiap pengorbanan serta pengabdian yang diberikan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air di Wilayah Kerja PJT I.

"Ini adalah salah satu cara bagi kami untuk melakukan penghormatan. Dengan kembali mengenal sejarah," jelasnya, Minggu (5/12/2021).

Harapaannya hal tersebut bisa menumbuhkan semangat kami untuk melanjutkan perjuangan dalam merawat dan memelihara infrastruktur yang dihasilkan atas pengorbanan para pendahulu.

"Dari sejarah kita bisa belajar banyak perjuangan mereka. Setidaknya kita harus bisa memaknainya dan memelihara demi kebermanfaatan bagi kita atau pun generasi mendatang," tutupnya.