Pixel Codejatimnow.com

Tradisi Endhog-Endhogan Meriahkan Perayaan Maulid Nabi di Banyuwangi

Editor : Sofyan Cahyono  
Tradisi Endhog-endhogan di Banyuwangi.(Foto: Humas Pemkab Banyuwangi)
Tradisi Endhog-endhogan di Banyuwangi.(Foto: Humas Pemkab Banyuwangi)

jatimnow.com - Peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiul Awal jatuh pada Sabtu (8/10/2022). Nyaris di berbagai desa di Banyuwangi dimeriahkan dengan tradisi endhog-endhogan. Telur dihias dengan bunga kertas dan ditancapkan di pohon pisang berhias serta diarak keliling kampung atau ditaruh di masjid. Sembari membaca syair pujian pada Nabi Muhammad yang ada di kitab Al-Barjanzi.

“Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi kecintaan masyarakat Banyuwangi kepada baginda Nabi Muhammad. Sebagai ungkapan rasa syukur, kami menyisihkan sebagian rezeki untuk berbagi dengan tetangga meski hanya berupa telur dan seancak nasi,” ungkap Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Sabtu (8/10/2022).

Kegiatan tersebut, menurut Ipuk, patut untuk dilestarikan. Sebab tidak hanya sebagai ekspresi nilai-nilai religiusitas, namun juga memperkuat keeratan sosial dan keguyuban di tengah masyarakat.

“Inilah bentuk nyata dari nilai utama Pancasila tentang gotong-royong. Semua masyarakat terlibat dalam menyukseskan kegiatan,” terangnya.

Tradisi Endhog-endhogan di Banyuwangi.(Foto: Humas Pemkab Banyuwangi)Tradisi Endhog-endhogan di Banyuwangi.(Foto: Humas Pemkab Banyuwangi)

Nilai-nilai gotong-royong inilah sebagai sesuatu yang harus senantiasa dijaga.

“Dengan kultur gotong-royong yang kuat, bisa menjadi modal dasar bagi pembangunan bagi pemerintah daerah,” imbuh Ipuk.

Baca juga:
Mengenal Ritual Seblang Olehsari di Banyuwangi, Menari 7 Hari Berturut-turut

Dikabarkan pada hari perayaan maulid, terdapat sejumlah daerah yang melakukan kirab endhog-endhogan dalam skala besar. Di antaranya di Dusun Glondong, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Desa Sraten, Kecamatan Cluring, dan di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng. Lalu di sejumlah desa lainnya dengan skala yang beragam.

Seperti yang dihadiri Wakil Bupati Banyuwangi Sugirah di Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi. Menurut Sugirah, tradisi arak-arakan Kembang Endhog tak hanya berlangsung dalam satu hari saja.

“Ini dilakukan selama bulan Maulud (Rabiul Awal), bahkan di bulan Bakda Mulud (Rabiul Akhir),” terangnya.

Tradidi Endhog-Endhogan telah berlangsung sangat lama di Banyuwangi. Setidaknya sejak paruh pertama abad 20. Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam Cathetan Raden Sudira yang melakukan riset tentang Banyuwangi pada awal 30-an atas perintah dari peneliti Belanda, Theodoore Pigeaud.

Baca juga:
Bupati Ipuk Beber Komitmen Pemkab Banyuwangi Peduli Difabel, Ini Buktinya

“Dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia itu, diterangkan tentang makanan yang tersaji pada perayaan Maulid Nabi. Yakni, ancak dan endhog-endhogan sebagaimana yang dikenal saat ini,” ungkap penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro.

Dalam cerita lisan masyarakat Banyuwangi, imbuh Ayung, tradisi tersebut konon pertama kali dicetuskan KH. Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon.

“Di setiap sisi Endhog-Endhogan ini adalah nilai filosofi yang melambangkan ajaran Islam. Seperti telur yang terdiri dari tiga lapis menunjukkan lapisan spiritual, mulai dari iman, Islam (syariat) dan ihsan,” paparnya.