Pixel Code jatimnow.com

Benih Kebaikan, Batik Ulur Wiji Mewarnai Mimpi Desa

Editor : Ni'am Kurniawan   Reporter : Ali Masduki
Pembatik menyelesaikan pesanan pelanggan di Rumah Produksi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Batik Ulur Wiji, di Dusun Pandan Toyo, Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto. Foto: Ali Masduki/jatimnow.com
Pembatik menyelesaikan pesanan pelanggan di Rumah Produksi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Batik Ulur Wiji, di Dusun Pandan Toyo, Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto. Foto: Ali Masduki/jatimnow.com

jatimnow.com - Batik, selama ini identik dengan acara formal. Namun, anggapan itu mulai terkikis.

Generasi milenial kini menjadikan batik sebagai bagian dari gaya hidup sehari-hari, dan Batik Ulur Wiji dari Mojokerto menjadi salah satu buktinya.

Tersembunyi di Dusun Pandan Toyo, Desa Pandan Krajan, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto, batik ini tak hanya memikat pasar domestik, tetapi juga telah melanglang buana hingga ke mancanegara.

Berbeda dengan batik kebanyakan, Ulur Wiji menawarkan motif tradisional yang disederhanakan.

"Motif kami sebenarnya motif tradisional yang kita sederhanakan. Selain menghemat tenaga dan bahan, dengan membuat motif sederhana maka harga jual batik terjangkau," jelas Nasta Rofika, Co-Founder Ulur Wiji.

Kesederhanaan motif inilah yang membuatnya cocok untuk dikenakan dalam berbagai kesempatan, tak hanya acara resmi.

Pekerja meracik pewarna alami untuk batik Ulur WijiPekerja meracik pewarna alami untuk batik Ulur Wiji

Strategi ini terbukti ampuh. Ulur Wiji tak hanya populer di kalangan anak muda, tetapi juga telah menembus pasar nasional dan internasional.

"Untuk pasar nasional, Ulur Wiji banyak mendapat pesanan dari warga BSD Tangerang dan Jabodetabek. Sedangkan mancanegara, Ulur Wiji sudah dipasarkan di Kanada dan Jepang," ungkap Rofika. Bahkan, kerjasama dengan brand ternama pun telah terjalin.

Keberhasilan Ulur Wiji menembus pasar global tak lepas dari strategi pemasaran daring yang diadopsi selama ini.

"Jadi kita banyak bermain online, supaya kita bisa menghemat budget untuk pameran atau sewa tenant," tutur Rofika. Langkah ini terbukti efektif dan efisien dalam menjangkau pasar yang lebih luas.

Namun, yang membedakan Ulur Wiji bukanlah hanya strategi pemasarannya. Komitmen terhadap lingkungan juga menjadi nilai jual tersendiri. Batik ini diproduksi menggunakan pewarna alami, hasil riset Nasta Rofika sendiri.

Baca juga:
EIGER Hadirkan Flagship Store Baru di Surabaya

"Kami menggunakan pewarnaan alami, karena kami konsen ke lingkungan," tegasnya.

Alumni Teknik Lingkungan ITS ini mengakui, penggunaan pewarna alami membutuhkan usaha ekstra. Namun, kepuasan tersendiri didapatnya dari proses ini.

"Karena kami tinggal di pemukiman, maka bahan alami ini tidak ada limbah. Bahan-bahan warna seperti kayu hampir habis terserap kain," jelasnya.

Kayu tegeran, kayu mahoni, kayu jambal, kayu secang, dan daun indigo dari petani Semarang menjadi beberapa bahan pewarna andalannya.

Riset yang dilakukan Rofika memastikan paduan warna yang serasi dan sesuai dengan kain yang digunakan.

Selain menjadi ladang bisnis, Ulur Wiji juga menjadi wujud nyata pemberdayaan masyarakat. Sejak dirintis pada 2019 dan resmi beroperasi pada 2020, Ulur Wiji telah menyerap tenaga kerja lokal.

Baca juga:
Kenalkan Olahraga Poundfit, SuperO2 Gugah Gaya Hidup Sehat Warga Surabaya

Saat ini, belasan orang bekerja di tempat produksi. Penjahit berasal warga lokal, desa sekitar hingga dari Surabaya.

"Untuk pekerja memang kami prioritaskan dari desa kami dulu dan orang yang membutuhkan pekerjaan," terang Rofika.

Pekerja menjemur batik Ulur WijiPekerja menjemur batik Ulur Wiji

Hal itu selaras dengan falsafah Ulur Wiji, "Dari Desa Bisa Berdaya". Itu berarti 'menebar benih kebaikan' dalam bahasa Jawa.

Batik Ulur Wiji membuktikan bahwa batik tak hanya merupakan warisan budaya, tetapi juga dapat menjadi bisnis yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan memberdayakan masyarakat.

Kisah suksesnya menjadi inspirasi bagi para pelaku usaha kreatif lainnya.