Pixel Code jatimnow.com

ICMI Sebut Rangkap Jabatan Ancam Integritas Pemerintahan

Editor : Ali Masduki   Reporter : Ali Masduki
Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur. Foto/Dokumentasi Pribadi
Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur. Foto/Dokumentasi Pribadi

jatimnow.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mempertegas larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri, diharapkan menjadi langkah maju menuju tata kelola pemerintahan yang lebih bersih dan profesional.

Namun, pernyataan Ketua MPR RI yang menyebut larangan tersebut "hanya pertimbangan hukum," menimbulkan kekhawatiran.

Pernyataan tersebut, menurut Ulul Albab, Ketua ICMI Jawa Timur, menunjukkan bagaimana sebagian elit politik memperlakukan hukum sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan, bahkan diabaikan demi kenyamanan kekuasaan.

Hal ini, lanjutnya, menyederhanakan substansi etika bernegara yang seharusnya menjadi landasan utama dalam pemerintahan.

Praktik rangkap jabatan, selain melanggar etika, juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah serius.
"Rangkap jabatan membuka peluang konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, dan erosi integritas kelembagaan," jelas Ulul Albab.

Contohnya, pejabat publik yang merangkap jabatan komisaris di BUMN, kepala daerah yang juga pengurus partai politik, atau dosen perguruan tinggi negeri yang aktif di birokrasi dan bisnis.

Secara politik, rangkap jabatan mengganggu sistem checks and balances. Secara ekonomi, hal ini membuka celah transaksi kepentingan antara negara dan korporasi. Secara kelembagaan, praktik ini melemahkan meritokrasi dan regenerasi kepemimpinan.

Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, meskipun tidak secara eksplisit melarang rangkap jabatan, menekankan bahwa jabatan publik tidak boleh dirangkap jika berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Baca juga:
Sah! Risma Mensos, Whisnu Sakti Ditunjuk Kemendagri Jadi Plt Wali Kota

"Mengabaikan pertimbangan hukum MK sama saja dengan mengabaikan 'roh' dari keputusan tersebut," tegas Ulul Albab.

"Jika elit politik hanya mengutamakan keputusan eksplisit dan mengabaikan pertimbangan moral dan etis, hukum akan terus dilemahkan oleh tafsir kekuasaan," tambahnya.

Untuk mengatasi masalah ini, Ulul Albab menyarankan beberapa langkah. Pertama, pemerintah dan DPR perlu merevisi UU ASN, UU BUMN, dan regulasi terkait untuk memperjelas larangan rangkap jabatan.

Kedua, publik sipil, kampus, dan media harus aktif mengawasi dan menyuarakan penolakan terhadap normalisasi rangkap jabatan.

Baca juga:
Rangkap Jabatan Risma Bikin Gaduh!

Ketiga, audit independensi terhadap pejabat yang merangkap jabatan perlu dilakukan secara berkala, tidak hanya menilai kinerja, tetapi juga integritas dan akuntabilitas.

"Rangkap jabatan adalah soal legalitas dan keadaban bernegara," tegas dia.

Ulul Albab menuturkan, negara yang ingin tumbuh sehat harus memberi ruang bagi profesionalisme, regenerasi, dan akuntabilitas.

"Jika pejabat publik merasa tidak terikat oleh pertimbangan hukum tertinggi dari MK, apa yang sebenarnya mengikat mereka selain nafsu untuk mempertahankan kuasa?" tandasnya.

Foto: Perempuan Penjaga Tembakau
Photo Talk

Foto: Perempuan Penjaga Tembakau

Para perempuan di gudang tembakau ini adalah penjaga Warisan budaya dan tradisi industri yang telah mengakar kuat di Jember dan Indonesia.