Pixel Code jatimnow.com

Aksi Massa Ricuh, Cendekiawan Sentil Peran Intelijen dan Aparat

Editor : Ni'am Kurniawan   Reporter : Ali Masduki
Massa aksi membakar Polsek Tegalsari Surabaya, pada Minggu (31/08/2025) dini hari. (Foto: M Iffan Maulana for jatimnow.com)
Massa aksi membakar Polsek Tegalsari Surabaya, pada Minggu (31/08/2025) dini hari. (Foto: M Iffan Maulana for jatimnow.com)

jatimnow.com - Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai kota besar menjadi sinyal bahwa bangsa ini tengah menghadapi ujian yang serius. Aspirasi yang disuarakan oleh mahasiswa dan masyarakat merupakan indikasi adanya masalah struktural dalam pengelolaan negara.

Menanggapi fenomena ini, akademisi Administrasi Publik sekaligus Ketua ICMI Jawa Timur, Ulul Albab, memberikan pandangannya. Menurutnya, pemerintah tidak boleh alergi terhadap kritik dan harus menjadikan demonstrasi sebagai indikator kesehatan sistem politik.

"Pemerintahan demokratis tidak boleh alergi terhadap kritik. Kritik adalah vitamin bagi demokrasi," ujar Ulul Albab dalam keterangan tertulisnya kepada jatimnow.com, Rabu (03/9/2025).

Ulul Albab menegaskan pentingnya prinsip good governance yang meliputi akuntabilitas, transparansi, partisipasi, efektivitas, dan supremasi hukum. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang substantif dengan kelompok masyarakat sipil dan mengedepankan pendekatan persuasif daripada koersif.

"Sejarah mencatat bahwa bangsa yang gagal mengelola kritik publik akan jatuh pada lingkaran otoritarianisme, yang justru melahirkan instabilitas jangka panjang," tegasnya.

Selain itu, aparat keamanan juga dituntut untuk profesional dalam menghadapi aksi massa. Model pengamanan yang humanis, dialogis, dan proporsional adalah suatu keharusan. Tindakan represif justru akan merusak citra negara di mata rakyat.

Baca juga:
Catatan GIIAS Surabaya 2025 di Tengah Gemuruh Demonstrasi

Intelijen memiliki peran vital dalam mendeteksi dini potensi gangguan keamanan. Namun, intelijen harus bekerja secara presisi, berbasis data, dan mampu membedakan antara aspirasi murni rakyat dengan manuver politik segelintir aktor.

"Kecurigaan bahwa ada 'penunggang gelap' dalam aksi massa memang niscaya. Tetapi jika kecurigaan itu dijadikan alasan untuk menekan kebebasan berekspresi, maka negara justru terjebak dalam paranoid politik," jelas Ulul Albab.

Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga etika dalam menyampaikan aspirasi. Demonstrasi harus dilakukan secara damai, tertib, dan argumentatif.

Baca juga:
Cari Aman, Kampus di Surabaya Ini Gelar PKKMB Online

Ulul Albab mengajak semua pihak untuk melakukan refleksi kebangsaan dan kembali ke prinsip dasar, yaitu bernegara dengan akal sehat. Konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga memandang rakyat sebagai ancaman adalah kesalahan fatal.

"Rakyat yang bersuara bukan musuh negara, tapi mitra kritis dalam memperbaiki kebijakan publik," katanya.

Di tengah kerumitan ini, Ulul Albab menuturkan pentingnya peran cendekiawan dalam mengedukasi semua elemen: rakyat, aparat, dan birokrasi. Berbagai persoalan bernegara hanya bisa diselesaikan jika semua pihak mengedepankan akal sehat, kecendekiawanan, kebijaksanaan, dan akhlaqul karimah.