Pixel Code jatimnow.com

Foto Jurnalistik di Era Disrupsi, Bagaimana Cara Adaptasi?

Editor : Ni'am Kurniawan   Reporter : Ali Masduki
Totok J Sumarno dan Ridoi, menjadi pemateri dalam Jagongan Bareng PFI Surabaya bertajuk “Foto Jurnalistik di Era Disrupsi dan Tips Menjual Foto di Internet” di Rumah Literasi Digital, Jumat (26/9/2025). (Foto: Ali Masduki/jatimnow.com)
Totok J Sumarno dan Ridoi, menjadi pemateri dalam Jagongan Bareng PFI Surabaya bertajuk “Foto Jurnalistik di Era Disrupsi dan Tips Menjual Foto di Internet” di Rumah Literasi Digital, Jumat (26/9/2025). (Foto: Ali Masduki/jatimnow.com)

jatimnow.com - Disrupsi media bukan hanya menghadirkan tantangan, tetapi juga membuka peluang besar bagi pewarta foto untuk memperluas jangkauan karya mereka sekaligus menemukan model monetisasi baru.

Kesadaran ini mengemuka dalam forum Jagongan Bareng Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya bertajuk “Foto Jurnalistik di Era Disrupsi dan Tips Menjual Foto di Internet” yang digelar di Rumah Literasi Digital, Jalan Kaca Piring No.6 Surabaya, Jumat (26/9/2025).

Acara yang diikuti puluhan peserta itu menghadirkan praktisi media Totok J Sumarno dan anggota PFI Surabaya Ridoi sebagai narasumber utama. Jagongan dipandu oleh Ketua PFI Surabaya, Suryanto Putramudji.

Praktisi media Totok J Sumarno menuturkan bahwa era disrupsi tidak bisa dihindari, namun justru menyimpan peluang besar bagi pewarta foto.

“Disrupsi memberikan kesempatan bagi jurnalis foto untuk memperluas jangkauan dan jaringan. Kini karya tidak hanya berhenti di media cetak atau daring tempat ia bekerja, tapi juga bisa tersebar ke banyak kanal digital. Ini peluang luar biasa yang sebelumnya sulit dibayangkan,” ujar Totok.

Meski demikian, Totok mengingatkan adanya tantangan serius berupa persaingan dengan citizen journalism.

“Yang perlu dipahami adalah, meskipun citizen journalism tumbuh pesat, karya jurnalis foto profesional tetap tidak akan tergantikan. Selama media membutuhkan kualitas dan kredibilitas, posisi pewarta foto akan selalu relevan,” tambahnya.

Baca juga:
PFI Malang Gelar Pameran Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2023

Strategi Monetisasi Foto Jurnalistik

Sementara itu, anggota PFI Surabaya, Ridoi, menggarisbawahi pentingnya fotografer membangun personal branding sekaligus mencari cara agar karya mereka tidak berhenti di media sosial.

“Banyak jurnalis foto sudah sadar pentingnya personal branding. Namun kalau hanya puas dengan like dan pujian di media sosial, apa nilai tambahnya? Kenapa tidak mencoba menjual karya di platform Micro stock? Foto yang kita unggah bisa dibeli berkali-kali dan tetap menghasilkan nilai dolar,” jelas Ridoi.

Baca juga:
Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2023 Resmi Dibuka di Surabaya

Ia mencontohkan portofolionya yang kini berisi 1.500 foto di platform Micro stock. “Kalau di luar negeri, mereka lebih menghargai karya foto. Daripada ribet urusan lisensi dan hak cipta, mereka lebih memilih membeli. Di platform Micro stock, satu foto bisa dibeli puluhan bahkan ratusan kali. Itu peluang tambahan penghasilan yang nyata,” paparnya.

Menurut Ridoi, lima tahun ke depan model monetisasi melalui mikro stok masih akan relevan, meski sudah mulai ada adaptasi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Acara Jagongan Bareng ini tidak hanya menjadi forum diskusi, tetapi juga ruang bagi fotografer untuk saling bertukar pengalaman dan strategi. Dengan begitu, jurnalis foto di Surabaya diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lanskap media tanpa kehilangan jati diri profesinya.