jatimnow.com - Anggapan bahwa air hujan di pedesaan masih murni dan bersih seketika terpatahkan. Sebuah investigasi lingkungan yang dilakukan oleh 15 santriwati Pondok Pesantren (PP) Nurussalam, Desa Sumberkemuning, Kecamatan Tamanan, Kabupaten Bondowoso, menemukan fakta yang meresahkan: air hujan yang mengguyur wilayah mereka positif tercemar mikroplastik.
Penemuan ini merupakan hasil dari kegiatan citizen science dalam rangkaian program Jawa Timur Young Changemaker (JAYCA) 2025 yang berlangsung hingga Rabu (19/11/2025). Para santriwati dari jenjang MTS dan SMK Pertanian ini tidak hanya menemukan polutan, tetapi juga membongkar akar masalahnya: budaya membakar sampah.
Siti Fatimah, salah satu pengurus santriwati PP Nurussalam yang terlibat dalam riset ini, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya saat melihat hasil uji laboratorium sederhana yang mereka lakukan.
“Awalnya kaget mengetahui air hujan di Bondowoso tercemar mikroplastik. Rasa penasaran membuat kami melakukan pengamatan kondisi lingkungan di sekitar pondok. Ternyata, perilaku masyarakat yang membakar sampah, tumpukan plastik di tepi jalan, dan membuang sampah sembarangan menjadi biang kerok sumber mikroplastik ini,” ungkap Siti, Rabu (19/11/2025).
Santriwati PP Nurussalam Bondowoso mengamati dengan seksama tampilan sampel air hujan melalui layar mikroskop digital, Selasa (18/11/2025). (Foto: Prigi Arisandi for JatimNow.com)
Temuan Siti dan rekan-rekannya bukan isapan jempol. Dalam uji sampel air hujan yang dilakukan Selasa (18/11), mereka menemukan rata-rata partikel mikroplastik yang cukup tinggi. Data pembanding yang diambil siswi SMPN 3 Bondowoso sehari sebelumnya (17/11) di lokasi berbeda semakin menguatkan fakta bahwa pencemaran ini merata.
Berdasarkan hasil uji laboratorium, data sebaran mikroplastik per liter air menunjukkan tingkat pencemaran yang mengkhawatirkan. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada Air Hujan Badean yang mencapai 52 partikel dengan dominasi jenis fiber.
Angka tersebut diikuti oleh temuan pada Air Hujan Sumberkemuning sebanyak 36 partikel dan Air Hujan Koncer dengan 34 partikel, yang keduanya juga didominasi fiber.
Fakta ini kian ironis ketika Air Galon Isi Ulang yang dianggap bersih pun tak luput dari kontaminasi, meski dengan jumlah lebih rendah yakni 9 partikel
Cindi Yuniantika, anggota tim peneliti santriwati, menjelaskan detail teknis temuan mereka. “Kami menemukan 36 partikel mikroplastik dalam 1 liter air hujan di pondok. Jenis yang teridentifikasi adalah fiber atau benang. Ukurannya sangat kecil, di bawah 5 mm, sehingga kami menggunakan mikroskop pembesaran 40 hingga 100 kali,” jelas Cindi.
Tak hanya air hujan, tim JAYCA PP Nurussalam juga menemukan lebih dari 41 partikel mikroplastik di air sungai kemuning dan 26 partikel di mata air sumber kemuning.
Prigi Arisandi, Mentor JAYCA 2025 yang mendampingi para santri, menegaskan bahwa temuan ini adalah alarm bahaya bagi krisis iklim lokal. Ia memaparkan data bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik ke laut terbesar ketiga di dunia.
“Sebanyak 56% sampah di Indonesia umumnya dibakar. Sampah plastik yang dibakar ini tidak hilang, tapi terpecah menjadi serpihan kecil mikroplastik yang terbang ke udara, mengkontaminasi awan, dan turun kembali bersama air hujan. Jika di kota besar seperti Surabaya hal ini lumrah, kini terbukti desa di Bondowoso pun tak luput dari ancaman ini,” tegas Prigi.
Baca juga:
Air Hujan Surabaya Tercemar Mikroplastik, Jangan "Mangap" Saat Hujan!
Suasana pelatihan citizen science di Pondok Pesantren Nurussalam. Para santriwati dengan serius menyimak instruksi mentor JAYCA dalam mengidentifikasi problem lingkungan dan pencemaran air, yang kemudian berujung pada temuan air hujan tercemar mikroplastik. (Foto: Prigi Arisandi for JatimNow.com)
Untuk membuktikan sumber pencemaran, para santriwati melakukan aksi "detektif lingkungan" dengan menyusuri jalanan desa sepanjang 1 kilometer. Hasilnya mencengangkan.
Bidahyatul Fitriani, siswi kelas 11 SMK, membeberkan hasil inventarisasi timnya. Dalam jarak pendek tersebut, mereka menemukan 925 potong sampah plastik yang terdiri dari tas kresek, botol, gelas plastik, saset, hingga styrofoam.
"Kami menemukan lima sumber utama mikroplastik di sini. Mulai dari pembakaran sampah terbuka yang sudah jadi budaya, sampah tercecer di jalan yang terlindas kendaraan hingga hancur jadi debu plastik, hingga pembuangan sampah liar di saluran air dan kebun warga," papar Bidahyatul.
Kondisi sampah yang terpapar panas matahari dan hujan membuat plastik menjadi rapuh (brittle), pecah menjadi mikroplastik, lalu terbawa angin atau aliran air hingga mencemari siklus hidrologi.
Menghadapi data yang suram, para santriwati tidak tinggal diam. Mereka menyusun strategi kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat Sumberkemuning. Laila Mufida, siswi SMK Pertanian Nurussalam, menegaskan komitmen mereka untuk menjadi agen perubahan.
"Kami sepakat untuk berubah, dimulai dari diri sendiri. Ada enam aksi solusi yang kami tawarkan," ujar Laila optimis.
Baca juga:
Gawat! Uji Air di Malang Temukan 11 dari 12 Sampel Terpapar Mikroplastik
Keenam resolusi tersebut diawali dengan langkah konkret perubahan perilaku, yakni komitmen tegas untuk menolak plastik sekali pakai dalam aktivitas sehari-hari.
Semangat ini diterjemahkan secara praktis melalui gerakan guna ulang (reuse), di mana para santriwati mewajibkan diri membawa perlengkapan mandiri seperti tumbler, tempat makan (tepak), dan tas kain sebagai pengganti kantong kresek maupun kemasan instan.
Tak hanya berbenah ke dalam, mereka juga bergerak keluar melalui edukasi visual dengan memasang poster larangan membuang sampah ke sungai serta menggaungkan kampanye setop bakar sampah demi menjaga kesehatan udara dan cuaca.
Upaya penyadaran ini dibarengi dengan advokasi infrastruktur, yakni mendesak penyediaan tempat sampah yang layak untuk mencegah pembuangan limbah sembarangan.
Sebagai pengeras suara gerakan, mereka memanfaatkan kampanye digital di media sosial guna mengajak Gen Z lain turut peduli dan mengambil peran dalam melawan krisis iklim.
Melalui Program JAYCA yang bertujuan meningkatkan kesadaran Gen Z Jawa Timur ini, para santriwati PP Nurussalam membuktikan bahwa solusi global bisa dimulai dari aksi lokal di halaman pondok pesantren mereka sendiri.