jatimnow.com - Dua remaja putri kembar, Nur Laila dan Nur Laili (16) menderita kelumpuhan dan tuna wicara.
Kedua anak yatim piatu itu kini hanya bisa tergolek pasrah di sebuah rumah petak berukuran 3x3 meter di perkampungan utara Kota Surabaya.
Keduanya merupakan anak keempat dan kelima dari pasangan almarhum Towi (60) dan almarhumah Supini, (56) asal Srengganan Gang III, RT 6 RW 7, Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Simokerto, Surabaya.
Saat ini, keduanya dirawat oleh bibi mereka yang bernama Sulikhah (51).
Saat ditemui di rumahnya, Sulikhah menceritakan awal mula kondisi kedua keponakannya yang mengalami lumpuh.
Ia mengatakan bahwa keduanya lahir dalam kondisi yang normal. Namun menginjak usia 7 bulan, tiba-tiba benjolan muncul di kaki Nur Laili.
"Awal itu normal. Terus bengkak kakinya satu dan yang satunya juga ikut-ikutan ndak bisa jalan lemas. Kemudian saya bawa ke tukang pijat. Juga ke dokter spesialis anak katanya gejala ginjal. Diperiksa juga ke dokter salah satu rumah sakit katanya tidak ada penyakitnya. Saya bingung anak ini sakit apa sebenarnya," katanya, Kamis (11/7/2019).
Ia mengungkapkan, perjuangan untuk pengobatan terhadap si kembar telah dibawa ke RSU dr Soetomo Surabaya.
"Hampir setiap hari saya bawa kesana untuk periksa. Saya tanya ke dokter dia punya penyakit apa, setelah diperiksa ternyata normal," katanya.
Setelah mendapat pemeriksaan selama sebulan berupa rekam otak di RSU dr Soetomo, dokter meminta untuk dilakukan operasi kecil. Ia mengaku apapun akan dilakukan demi kesembuhan si kembar.
"Kami enggak apa-apa yang penting anak ini sembuh. Si kembar ini sampai ngamar selama dua bulan di rumah sakit," ujarnya sambil mengusap air matanya.
Baca juga:
Menteri ATR/BPN - PWNU Jatim Teken Kerja Sama Sertifikat Tanah Wakaf
Setelah dioperasi, keadaan keduanya semakin memburuk. Setelah dua bulan, tulang di kakinya tidak bisa menyatu setelah mengenakan alat bantu. Si kembar pun diminta untuk pulang dengan catatan tetap melainkan kontrol.
"Dokter bilang kakinya sudah mlastik. Selama empat tahun, itu kontrol terapi. Poli gizi tumbuh kembang hingga terapi bicara. Mereka ini tidak bisa ngomong. Kami bolak-balik ke rumah sakit tapi sampai sekarang kami belum tahu penyakitnya apa dan bagaimana cara menyembuhkannya," imbuhnya.
Kondisi si kembar hingga kini hanya bisa terbaring di kasur dan lantai. Kedua remaja putri ini hanya bisa merengek saat merasa lapar.
Bahkan, Sulikhah mulai pesimis saat si kembar ditinggal oleh kedua orang tuanya yang meninggal akibat penyakit jantung dan sesak sejak empat tahun lalu.
Sulikhah yang hanya bekerja sebagai penjual kerupuk mengaku tidak cukup dengan penghasilannya untuk merawat si kembar. Alhasil dia menggadaikan barang-barang miliknya hingga baju-baju yang ia miliki untuk bisa merawat dua keponakannya.
Baca juga:
Arus Peti Kemas TPS Naik 9,77 Persen Hingga Oktober 2024, Ekspor-Impor Tetap Stabil
"Saya sudah pasrah, uang saya sudah habis semua untuk pengobatan anak anak ini. Saya hanya penjual kerupuk. Kalau ada nasi karak (nasi aking) ya saya jual. Apapun saya lakukan demi menghidupi mereka. Ya ngambil uang cicilan dapat arisan gitu. Ada apa saya jual saya gadaikan. Apa adanya sampai habis semua baju saya," jelasnya.
Sulikhah meneruskan biaya kontrakan selama satu tahun sebesar Rp 1,5 juta untuk tempat dia tinggal bersama si kembar. Si kembar pun selama ini hanya mengkonsumsi vitamin yang ia dapat dari puskesmas. Apabila si kembar sakit hanya diberi obat pereda panas badan.
"Saya cuma minta vitamin. Kalau minta obat tidak berani dokternya. Kalau panas saya kasih obat bodrexin itu aja. Sudah dua tahun lebih ini nggak diperiksa juga si kembar," jelasnya.