Pixel Code jatimnow.com

Kisah Perjuangan Ustad di Banyuwangi yang Mengentas Anak Putus Sekolah

Editor : Arif Ardianto  
Ustadz Musta'in saat mengajari santrinya (Mardiono (14) dan Asnai (15)) memotong nangka muda untuk dimasak.
Ustadz Musta'in saat mengajari santrinya (Mardiono (14) dan Asnai (15)) memotong nangka muda untuk dimasak.

jatimnow.com – Setelah sekian lama melihat anak-anak kampung tak mengenyam pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal, Musta’in (46) mengawali dengan membuka pesantren.

Musta’in menceritakan, hampir mayoritas anak-anak penduduk di RT/RW 1/1 Dusun Gadog, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, setelah lulus SD tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP/ MTs).

Padahal, pemerintah Republik Indonesia sejak Mei 1994 telah membuat kebijakan wajib belajar 9 tahun, SD-SMP/MTs. Seakan-akan kebijakan tersebut tidak terdengar di daerah yang berjarak sekitar 75 menit dari pusat Kota Banyuwangi ke arah barat. 

"Hampir semuanya setelah lulus SD tidak melanjutkan lagi. Saya sendiri sempat melanjutkan ke SMP, tapi di tahun pertama sekolah cawu (catur wulan) II tidak ada biaya, akhirnya mondok," kata pria yang akrab disapa ustadz Musta'in di rumahnya, Jumat (25/5/2018).

Pada tahun 2000 itulah, ia memutuskan untuk menerima anak-anak di daerahnya baik yang laki-laki maupun perempuan untuk menimba ilmu agama di musala sebelah rumahnya.

Berbekal pengalamannya menimba ilmu di Pondok Pesantren Nurul Huda, Dusun Semalang Desa Sumbersari, Kecamatan Srono, mulai tahun 1988-1999 itu, dia bertekad mengajar ngaji. Awalnya, tahun 2000 itu, sekitar belasan anak datang untuk mengaji.

Seiring bertambahnya tahun, jumlah santrinya kian bertambah, ada yang ingin mondok (sebutan santri yang menetap). Di tahun 2010, setelah melakukan musyawarah dengan beberapa tetangga dan kerabatnya, berdirilah sebuah pesantren yang dinamai Pesantren Arrabbi.

"Pertama membangun pesantren ada 6 anak yang mondok, dari tetangga desa dan sekitar sini. Niatnya agar mereka bisa lebih dekat belajar, termasuk yang ekonominya kurang tidak bisa mondok jauh," ujarnya.

Setahun setelah berdirinya pesantren itu, pria kelahiran tahun 1972 itu memiliki tekad mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Arrabbi. Harapannya, anak-anak di kampung tersebut dapat menempuh pendidikan formal, karena selama ini jarak tempuh menuju SMP terdekat sejauh 3 kilometer, yaitu SMP Terbuka Glagah.

"Barangkali kalau dekat, semangat wajib belajar 9 tahun mudah diakses. Seingat saya di 2010 yang lulus SMP sekitar 3 orang saja dari kurang lebih 40 KK di RT ini," sebutnya.

Baca juga:
Drama Kolosal Resolusi Jihad di Surabaya Bikin Merinding

Meski begitu, tak sedikit beberapa celotehan keluar dari para tetangga kepada dirinya mendirikan MTs Arrabbi. Namun, hal itu tidak lantas menyurutkan tekad bulatnya dalam mendukung kebijakan pemerintah pusat.

"Alhamdulillah pertama kali pendaftaran ada 15 siswa MTs, 8 laki-laki yang 5 perempuan. Itupun 7 siswa diantaranya seharusnya kelas VIII," kenangnya.

Bahkan, ia masih ingat bahwa angkatan pertama siswa di MTS itu yang berhasil hingga lulus 5 siswa saja. Selebihnya, ada yang  melanjutkan ke jenjang pernikahan dan ada juga yang bekerja.

Sedangkan untuk jumlah guru sebagai tenaga pengajar berjumlah 10 orang yang dikepalai oleh Khusnan S PD I. Meskipun, dari semua guru tersebut bersifat relawan.

"Bagi mereka (para guru) ada istilahnya bisyaroh (gaji guru, red). Tapi menurut saya buat ganti bensin kayak cukup," ujar ustadz itu yang kini memiliki 40 santri.

Baca juga:
Jember Peringati HSN 2024, Santoso: Santri Harus Jelas Masa Depannya

Meskipun dengan pencapaian MTs Arrabbi yang digagasnya belum begitu besar, ada beberapa hal yang dapat dibanggakan. Salah satu lulusan sekolahnya yang bernama Wahyudi di terima di SMKN Glagah Banyuwangi mengambil jurusan Nahkoda Kapal.

"Itu tahun 2017 kemarin Wahyudi diterima di sekolah negeri dari 5 angkatan lulusan sekolah kami. Hampir bersamaan dengan jalan ke desa ini di aspal. Kami tetap bangga meskipun setiap imtihan (peringatan kelulusan, red) jumlah siswa yang lulus kurang dari 10," kenangnya.

 

Reporter: Hafiluddin Ahmad

Editor: Arif Ardianto