Pixel Code jatimnow.com

Kakak Whisnu Sakti Sebut Tidak Ada Kontribusi Risma Bagi PDIP

Editor : Sandhi Nurhartanto   Reporter : Budi Sugiharto
Kakak kandung Whisnu Sakti Buana, Jagad Hari Seno (kanan) dan pengacara muda M. Sholeh
Kakak kandung Whisnu Sakti Buana, Jagad Hari Seno (kanan) dan pengacara muda M. Sholeh

jatimnow.com - Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana diajarkan untuk tidak sambat atau mengeluh meski merasakan sakit.

Kakak kandung Whisnu Sakti Buana, Jagad Hari Seno mengungkap rahasia itu saat diwawancarai pengacara muda, M Sholeh dalam channel YouTube-nya ''Cak Sholeh''.

Sholeh mempertanyakan jika ada undangan untuk Wali Kota Surabaya, dan Tri Rismaharini tidak bisa hadir justru dilimpahkan ke sekda, bukan ke wakil wali kota.

Baca juga:  

"Selama periode pertama menjabat wakil wali kota, tidak pernah dilibatkan dan tidak pernah diajak kemana-mana. Fotonya biasa di daerah-daerah gitu bupati-wakil bupati (berpasangan red), gak kan. Saya gak pernah lihat atau saya yang tidak pernah tahu?" tanya Sholeh.

"Iya itu betul. Beberapa yang saya tahu detailnya itu, Whisnu dan saya dibesarkan di keluarga yang bapak saya itu kerasnya minta ampun. Sampai istilahnya itu begini 'kowe (kamu red) itu memimpin sesuai dengan kapasitasmu. Kalau kamu berani memimpin jangan sambatan. (suka mengeluh). Kakimu ketusuk paku kalau terasa sakit jangan jadi pemimpin," kata Seno dalam video yang disaksikan redaksi, Sabtu (14/11/2020).

"WS (Whisnu Sakti red) kalau tidak saya tanya ndak pernah cerita. Artinya di posisi itu saya nahan juga. Kita sama-sama tahulah. Kalau dia keceplosan sambil bahas dan guyonan, itu saya tahu. Tapi ndak posisi sambat," imbuhnya.

Sholeh kemudian menanyakan alasan mengapa Whisnu masih bersedia berpasangan dengan Risma pada periode kedua (2015).

"Kenapa dilanjutkan ke periode kedua. Ada apa di balik itu?" tanya Sholeh penasaran.

"Periode kedua itu begini. Pada posisi periode pertama Whisnu jadi wakil wali kota. Dulu begini, perolehan kursi dari 22 turun menjadi 13 di periode Mas Bambang (Bambang DH red). Mas Bambang Ketua DPC. Saat jadi wali kota, Ketua DPC Saleh dan turun jadi 8. Ketika WS (Whisnu Saktii), kontribusi dia saat jadi wakil wali kota mengangkat menjadi 15 kursi. Partai berharap, partai yang ngeyel ke dia (WS) bilang sudahlah mas kuatno ae ambek Bu Risma. Yang penting posisi suara partai menguat, dan dia melakukan itu betul. Dan itu dianggap memberikan kontribusi kepada partai. Buat saya dan Whisnu, membesarkan partai itu jauh lebih penting dan utama," tandas Seno.

"Apakah Mas Whisnu tidak pernah meyakinkan partai jika pertama saja sudah dijadikan 'patung', tidak pernah di orangkan, ngapain dilanjutkan. Pernah ndak itu disampaikan ke partai untuk diteruskan ke Bu Risma?" kejar Sholeh.

"WS tidak pernah bilang begitu, tapi partai pun sudah tahu. Beberapa tokoh senior sudah komunikasi yang saya tahu meskipun tidak langsung. Ya semua sambatan, artinya Bu Risma tidak bisa menerima ya seperti itu. Ya sudah, akhirnya Whisnu yang dikuati. Apapun juga Whisnu tidak boleh sambat. Dia hanya membela kepentingan partai. Berharap setelah ini selesai, Whisnu bisa gandeng Bu Risma pencitraan yang bagus kan bisa dipandang Whisnu dan Bu Risma ini dwi tunggal. Meskipun ada perselisihan, Whisnu kan tidak menampakkan itu. Di periode berikutnya, Whisnu bisa digadang calon wali kota. Intinya itu," terang Seno.

Sholeh menanyakan apakah dalam Pilwali Surabaya 2020, Seno diajak bicara oleh Risma seperti pada pencalonan yang pertama.

"Bahwa dia seolah-olah punya anak emas dan bukannya disebut Si Fuad (Fuad Benardi anak sulung Risma- red) tapi si Eri (Eri Cahyadi red). Pernahkah itu disampaikan?" tanya Sholeh.

Seno pun menjawab jika dia tidak pernah lagi komunikasi dengan Wali Kota Risma.

Baca juga:
Whisnu Sakti Buana Meninggal Dunia hingga Popok Terbakar

"Tidak pernah. Bu Risma jalan dengan kemauannya sendiri. Pada 2020, Bu Risma sudah ditarik menjadi pengurus DPP PDIP. Bu Risma melihat kepentingan partai ada di bawahnya dia, kalau saya melihat. Surabaya ini ya Risma bukan PDI Perjuangan. PDIP apa kata Risma yang dicitrakan di luar oleh media, buzzer atau apapun itu yang kemudian kita persepsikan seperti itu. Jadi Bu Risma tidak merasa perlu melakukan komunikasi ke WS, karena dia merasa bisa komukasi dengan ketua umum (Megawati Soekarnoputri red). Dan ketua umum pasti akan nurut dia dan itu kan terbukti," papar Seno.

Jelang Pilkada atau Pilwali Surabaya 2020, Sholeh menyebut jika dirinya melihat Whisnu Sakti getol turun ke bawah.

"Apakah teman-teman DPP pernah memanggil Mas Whisnu dan bilang tidak usahlah dirimu. Bu Risma sudah punya calon. Pernah tidak?" tanya Sholeh.

"Ndak pernah. Yang terjadi adalah pada sisi DPP kan masih membuka potensi dan istilahnya memberikan harapan kepada WS. Hasto juga mengatakan mengutamakan kader. Otomatis WS kan merasa harus berkompetisi," terang Seno.

"Pernah tidak Mas Whisnu meyakinkan DPP, salahku apa sampai tidak direkom? Hampir 2 periode jadi wakil wali kota. Pernah tidak saya tersangkut kasus korupsi? Pernah tidak saya main proyek? Pernah gak menjelaskan itu ke DPP?" tanya Sholeh.

"Kalau menjelaskan itu bukan wewenang DPP. Karena keputusan rekomendasi itu keputusan preogratif ketua umum. Sebelum rekomendasi keluar, WS itu sudah bertemu Sekjen PDIP (Hasto red). Saya buka saja yang saya dengar, sekjen menanyakan apakah WS mau bersedia kalau wakilnya Eri itu. Eri diberikan peran dan dia (WS) mau, bersedia diberikan peran. Meskipun Eri tetap ngotot jadi wali kota karena merasa punya atasan Bu Risma. Dia harus tunduk patuh pada Bu Risma kan gitu. Ini jadi cerita lucu," cerita Seno.

"Saya sarankan kepada Whisnu, setelah rekomndasi itu keluar. Kamu temui ketua umum, yoopo-yoopo itu ibumu Bu Mega itu supaya lebih jelas. Sudah dilakukan, tapi kan Bu Mega beberapa waktu yang lalu saat kondisi gerah, agak sakit, kan tidak bisa menemui. Ya sudah menunggu soal itu. Artinya dalam proses rekomendasi, saya melihat dari sisi keluarga ada sisi yang tidak fair sebetulnya. Kalau memang keputusannya itu adalah pure murni keputusan Risma, kenapa WS tidak dikasih tahu dari awal. Kenapa harus menggalang suara partai, kenapa harus keliling," tambahnya panjang lebar.

"Yang terjadi adalah ketika WS ada Eri, Armudji. Armudji pada saat itu wakil yang mengambil posisi. Eri dan WS berkompetisi di lapangan. Apa yang terjadi? Eri bergerak, Whisnu bergerak. Tetapi perolehan elektabilitas WS jauh lebih tinggi bahkan melampaui calon yang lain. Lha ini kan jadi mesin suara," lanjutnya.

Baca juga:
Sosok Whisnu Sakti Buana Dimata Eri Cahyadi Walikota Surabaya

Seno juga mengatakan jika kontribusi Risma ke partai tidak ada. Bahkan untuk kantor DPC PDIP Surabaya yang berada di Jalan Kapuas itu awalnya dirinya yang menyewa.

"Kontribusi wali kota ke partai apa dan WS disuruh membangun mesin dan itu diklaim seolah-olah Risma mampu memenangkan Pilkada di Surabaya. Harus diingat, ketika di hari rekomendasi turun waktu itu saya di kantor DPD, Bu Risma dengan gagah didampingi Mas Djarot selaku pengurus DPP di jam kerja. Meskipun wali kota dengan gagah melakukan deklarasi di Taman Harmoni. Seolah-olah aku ini panglima perang membawa rekom Eri dan Armudji," lanjutnya

"Tapi kenapa ketika ada perselisihan internal ketika calonnya terancam kalah, kok kemudian Whisnu yang jadi salah-salahan. Seolah-olah ini anak buah Whisnu, timnya Whisnu. Ya memang yang bergerak ke mesin itu Whisnu. Eri-Armudji ini kalah. Saya melihat tidak fairnya di situ," imbuhnya.

Setelah rekom turun, pernah tidak di hari akhir jabatan Whisnu dipanggil Risma?

"Yo wes sepurone aku gak cocok karo awakmu (ya sudah maaf aku tidak cocok dengan dirimu), aku lebih mendukung Eri ayo bantu Eri. Pernahkah itu?" tanya Sholeh,

"Tidak pernah ada. Ada satu bagi saya dan sekeluarga Pak Tjip itu menangis. Selain WS tidak diajak ngomong, WS itu diperintah partai untuk mengawal Eri-Armudji, ditumpakno banteng-bantengan dipakai sebagai simbol bahwa WS sudah legowo. Seolah-olah mesin suara WS ke Eri-Armudji, bahkan Risma salaman saja tidak mau. Itu posisi di KPU. WS pakai baju partai dan kalau gak salah Risma pakai baju putih," jawab Seno.

"Whisnu itu agak lucu. Kalau di DPC, gak pakai baju partai, disuruh pulang. Buat dia itu kebanggaan. Sebelum rekom, WS itu mengajak ngomong siapapun termasuk Risma, termasuk Eri. Gak direspon, sampai sekian bulan gak direspon. Terus dia diperintahkan oleh partai, dijadikan simbol itu juga gak diapresiasi. Misalkan gestrure tubuh, salaman, tersenyum enggak. Itu yang membuat saya sebagai kakak itu saya enggak bisa menahan emosi di situ. Saya tidak akan mengingatkan itu. Whisnu itu sampai gepeng yo tetep banteng, meskipun tidak diuwongkan. Bahasa kasarnya, Whisnu itu sudah tidak dimanusiakan," tandasnya.