Pixel Code jatimnow.com

Menengok Para Manula 'Perkasa' di Kampung Eksodus Banyuwangi

  Reporter : Erwin Yohanes
 Tukiman (84) dan Gisah (80) membuat tampah./Foto: Irul Hamdani
Tukiman (84) dan Gisah (80) membuat tampah./Foto: Irul Hamdani

jatimnow.com - Kampung Eksodus di Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo, Banyuwangi, dihuni belasan kepala keluarga (KK) yang beberapa diantaranya adalah para manula.

Penghuni disini adalah para korban kerusuhan SARA yang pernah meletus disejumlah daerah.

Adalah Tukiman (84) dan Gisah (80), pasangan suami istri (Pasutri) salah satu penghuni Kampung Eksodus. Sebelumnya, pasutri asli Jember itu pernah hidup lama di Poso, Sulawesi Utara.

Saat di Poso, mereka menjadi petani dari program transmigrasi pemerintah dan sudah bisa merubah hidup menjadi lebih berada.

Di tanah perantauan, Tukiman dan Ginah bisa memiliki hektaran kebun dan sawah. Namun di tanah pengharapan itu datang malapetaka.

"Semuanya berubah saat meletus kerusuhan SARA disana. Saya dan Mbah Kakung (Tukiman) menyelamatkan diri dan meninggalkan semua harta yang ada," kenang Nenek Gisah, ditemui jatimnow.com, Jumat (1/6/2018).

Kini, diusianya yang senja, kehidupan mereka belum sama sekali berubah. Hidup tetap menumpang di barak pengungsian yang dibangun pemerintah desa setempat. Tempat tinggalnya pun ala kadarnya.

Baca juga:
Peluang Banyuwangi Tarik Wisatawan saat Libur Nataru, Ini Kata Wamen Pariwisata

Meski hidup dibawah garis kemiskinan, tak lantas membuat mereka mengharap belas kasihan. Mereka tetap 'perkasa' menghadapi kerasnya kehidupan.

"Kalau tidak kerja seperti ini mau apa? Ya harus tetap kerja biar bisa makan" tambahnya.

14 tahun lamanya mereka terlilit dengan kemiskinan. Setiap hari, keduanya bertahan hidup dengan membuat kerajinan dari bilah bambu berupa Tampah (alat tradisional untuk membersihkan beras).

Kakek Tukiman dan nenek Gisah, berbagi peran. Urusan memotong dan membelah batang bambu hingga menjadi bilah adalah urusan Tukiman. Sang istri tinggal mengayamnya menjadi lembaran. Yang kemudian dibentuk menjadi Tampah.

Baca juga:
Kisah Peserta Seleksi PPPK di Banyuwangi Ujian Dalam Ambulans

Untuk satu Tampah, dibutuhkan dua hari untuk menyelesaikannya. Harganya pun tak lebih dari Rp 20 ribu. Tampah tersebut bisa pesanan dari warga atau jika tidak ada pesanan, akan dijual ke pasar melalui tetangganya.

"Sudah tua begini ya buat semampunya saja. Biasanya ada yang ambil tampah saya," pungkasnya.

Reporter: Irul Hamdani
Editor: Erwin Yohanes