Pixel Codejatimnow.com

Mengenang 24 Tahun Tsunami di Banyuwangi

 Reporter : Erwin Yohanes
Warga saat persiapan syukuran mengenang bencana tsunami yang pernah melanda Banyuwangi./Foto: Irul Hamdani.
Warga saat persiapan syukuran mengenang bencana tsunami yang pernah melanda Banyuwangi./Foto: Irul Hamdani.

jatimnow.com - Jumat 3 Juni 1994, silam, sekitar pukul 02.00 WIB, gelombang tsunami menyapu bersih kawasan pesisir selatan Banyuwangi.

Hingga 24 tahun berlalu, nestapa itu masih tersimpan kuat di dalam ingatan mereka yang selamat dari amukan gelombang dahsyat.

Amukan gelombang tsunami itu melumat permukiman nelayan di sejumlah pantai. Diantaranya Pantai Rajegwesi, Pancer, Pulau Merah, Lampon di Kecamatan Pesanggaran. Dan Pantai Grajagan di Kecamatan Purwoharjo.

Namun yang paling banyak menelan korban jiwa ada di Pantai Pancer, Pulau Merah, Lampon dan Rajegwesi. Total 229 nyawa melayang. Sedangkan di Pantai Grajagan 2 orang tewas. Sebab itu juga, tugu peringatan tsunami Banyuwangi didirikan di Dusun Pancer Desa Sumberagung.

Sayangnya, tanggal kejadian yang terukir di prasasti peringatan tersebut keliru dalam penulisan. Disana semestinya terukir tanggal 3 Juni, bukan 2 Juni. Namun, warga tak berani protes dimasa tersebut.

Atim (68), salah satu peyintas sejarahnya bercerita, malam itu dia mengajak anak-anaknya untuk beristirahat. Malam itu sang istri sedang ke Surabaya. Hingga larut malam, diantara mereka tidak ada yang bisa memejamkan mata.

Tugu peringatan tsunami

Beberapa saat kemudian, Atim lamat-lamat mendengar suara gemuruh dari arah laut di belakang rumahnya. Suara itu juga didengar anak sulungnya. Namun suara itu disangka mereka hanya suara mesin truk atau helikopter yang sedang melintas.

"Saya pikir itu suara helikopter marinir Lampon sedang latihan. Tapi latihan kok tengah malam. Saya keluar rumah untuk cari sumber suara itu juga tidak ada," ujarnya memulai cerita, ditemui jatimnow.com, Selasa (5/6/2018).

Tidak kurang dari 30 menit kemudian. Saat dia hendak menaruh kepalanya di bantal. Tiba-tiba saja air bah datang menghajar dari balik rumahnya. Seketika situasi berubah menjadi petaka. Atim menyebut situasi itu antara hidup dan mati begitu tipis.

"Rumah langsung ambruk menimpa saya, apakah ini yang namanya kiamat," kenangnya, sembari matanya mulai berkaca-kaca.

Laki-laki pemilik warung ikan bakar ini mengaku hanya ingat kepada Allah pada malam itu. Bahkan dia tak ingat lagi dengan anak-anaknya. Apakah anaknya selamat atau tidak.

Setelah mampu keluar dari reruntuhan rumah, Atim berlari sekuat tenaga menuju masjid dekat rumahnya yang masih tegak berdiri.

"Suasana gelap gulita, puing-puing berserakan dimana-mana. Orang menjerit kesakitan minta tolong, saya melihat mayat bergelimpangan. Astaghfirullah, begitu mengerikan," lanjutnya, sembari mengusap titik air mata disudut matanya.

Kejadian sekejap itu membuat 117 warga Pancer meninggal dunia, termasuk ibu mertuanya Atim, yang bernama Legiyem. Legiyem sendiri sebenarnya ditemukan warga dalam kondisi masih hidup usai terjangan tsunami yang datang pada Jumat Pon tersebut.

"Ibu mertua ditemukan selamat, namun diantara keduanya matanya tertancap pecahan kaca. Saat pecahan kaca dicabut sendiri oleh beliau, langsung meninggal," kenang Atim, kembali.

Baca juga:
Anak Krakatau Siaga, BMKG Imbau Masyarakat Waspadai Tsunami Malam Hari

Peristiwa tsunami itu juga meninggalkan kisah dan jejak keajaiban ilahi. Dimana bayi laki-laki bernama Yatim, yang saat itu masih berusia tiga bulan ditemukan selamat. Yatim ditemukan tanpa luka diantara reruntuhan rumah yang menjepit tubuh mungilnya.

Bayi itu sendiri bukan warga Pancer. Dia dan Supinah, ibunya adalah warga Desa Sraten, Kecamatan Cluring. Di malam kejadian, ibu dan anak itu menginap di rumah Atim karena memang mereka masih saudara.

"Bayi itu ditemukan setengah enam pagi, tubuhnya terjepit reruntuhan rumah saya. Tapi tidak luka, hanya dehidrasi saja. Sekarang si Atim sudah dewasa," ungkap Atim.

Saksi hidup lainnya, Mudassar juga berbagi kisah. Pada malam kejadian, pria asli Tulungagung, itu sedang menghadiri hajatan pernikahan warga di Pulau Merah. Pemilik hajatan menampilkan hiburan wayang kulit. Saat asik menonton wayang kulit itulah, tiba-tiba saja gulungan ombak menerjang.

"Air laut langsung seperti tumpah sebanyak tiga kali. Saya menyelamatkan diri naik pohon kelapa," katanya memulai cerita, ditemui di rumahnya.

Gelombang kedua dan ketiga datang tak terpaut lama dan menghanyutkan apa saja yang dilewatinya. Mudassar tetap bertahan diatas pohon kelapa sembari berdoa. Dirasa aman, Mudassar bergegas turun untuk pulang ke rumahnya.

"Saya cepat-cepat pulang, lari sekuat tenaga. Kampung saya sudah rata dengan tanah. Saya lari ke Masjid, dan ketemu anak istri selamat," kenangnya lagi dengan wajah serius.

Masjid tempat berlindung warga Pancer, hingga kini masih berdiri. Tak sedikitpun ada kerusakan pada saat tsunami menerjang. Padahal, permukiman di sekitarnya hanyut terbawa air laut. Hanya menyisakan satu rumah saja milik Mudassar.

"Alhamdulillah rumah saya tidak roboh. Hanya rumah yang awalnya menghadap Selatan jadi menghadap ke Barat," tambahnya dengan nada heran.

Baca juga:
Pontensi Tsunami 29 Meter di Jatim, Ini 4 Hal yang Harus Dipahami Masyarakat

Seperti Atim, sebelum gelombang datang, Mudassar juga sempat mendengar suara ledakan dahsyat dari arah laut. Seminggu berturut-turut sebelum kejadian dia juga mengaku merasakan fenomena alam yang tak lazim. Dimana, tingkat pasang surut air laut tidak seperti biasanya.

"Saat air surut, biasanya kami masih bisa keluar dari muara untuk melaut. Namun seminggu sebelum kejadian, air laut surut membuat kami kesulitan mengeluarkan kapal," ungkapnya.

Musibah tsunami ini menjadi perhatian nasional pada waktu itu. Presiden Soeharto dan Harmoko, Menteri Penerangan, melakukan kunjungan ke lokasi bencana tsunami Banyuwangi dengan membawa bantuan.

Bahkan, warga Pancer menyebutkan jika dalam kunjungannya itu, Presiden Soeharto mengadopsi 5 anak korban tsunami yang kehilangan orang tuanya untuk dijadikan anak angkatnya. Kesemuanya anak nelayan Pancer.

Kini, peristiwa tsunami itu mengubah cara pandang warga pesisir selatan Banyuwangi terhadap isu-isu kebencanaan. Hari Jumat Pon, dimana tsunami pernah terjadi, menjadi semacam "libur nasional" khususnya di kawasan Pantai Pancer dan sekitarnya.

"Tahun ini tidak ada peringatan khusus. Karena kami tidak punya biaya. Kita hanya berdoa untuk para korban tsunami dan keselamatan desa," pungkas pria yang juga Kepala Dusun Pancer, ini.

Reporter: Irul Hamdani

Editor: Erwin Yohanes