Pixel Code jatimnow.com

Opini

Aksi Tawuran Pelajar Cederai PTM Kita

Editor : Zaki Zubaidi  
Ilustrasi. (Foto: Dok. jatimnow.com)
Ilustrasi. (Foto: Dok. jatimnow.com)

jatimnow.com - Terjebak di situasi psikologis massa pelajar yang akan tawuran, tentu sangat tidak diinginkan. Aksi brutal akan bisa terjadi begitu saja, dengan menebar ketakutan. Apalagi bila mereka membawa sajam, gir, berteriak-teriak dan menggeber motornya di tengah jalan. Tentu bikin publik yang di dekatnya panik.

Tidak ada yang ingin terjebak di tengah amuk massa pelajar. Tapi itu bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anak-anak kita. Kisah anak pelajar SMP di Cengkareng Jakarta Barat menyatakan demikian, almarhum terbacok sajam di situasi yang tidak pernah diduga dan diinginkannya.

Namun beda dengan Saepudin dan warga yang tinggal di Jalan Majapahit, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat. Keberaniannya memecah konsentrasi massa pelajar yang akan tawuran menjadi viral.

Bahkan mereka memberi efek jera para pelajar yang akan tawuran untuk tidak balik lagi karena dihadang water barrier. Saepudin dan warga dengan berani menjatuhkan motor mereka. Dengan harapan bisa menangkap dan menyerahkan ke polisi. Namun sayangnya para pelajar tersebut berhasil kabur dari aksi stop tawuran Saepudin dan warga.

Bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aksi cegah dan stop tawuran dari Saepudin dan warga layak diapresiasi dan diacungi jempol. Karena sangat membantu kerja kerja penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Juga membantu kerja-kerja kepolisian. Bahkan mungkin disyukuri keluarga dari anak-anak yang akan tawuran tersebut. Karena anaknya selamat dari aksi brutal yang mengancam jiwa dan nyawa.

Aksi heroik Saepudin dan warga selaras dengan Peraturan Pemerintah yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Agustus 2021 bahwa kewajiban memberikan edukasi dan pelatihan bersama masyarakat dan pemerintah daerah terkait perlindungan anak dalam situasi khusus.

Dalam aturan tersebut juga diamanahkan pembinaan kabupaten atau kota untuk membangun partisipasi masyarakat, media dan dunia usaha dalam melindungi anak dalam situasi khusus. Yang secara lengkap dapat di baca dalam Pasal 93 dan Pasal 94 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak.

Lingkungan adalah keluarga ketiga anak, setelah orang tua dan sekolah. Tanggung jawab lingkungan sangat penting, setelah anak lepas dari rumah dan sekolah. Perlu masyarakat yang lebih banyak lagi seperti Saepudin dan warga.

Dua aksi kekerasan pelajar yang baru saja terjadi di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, tentu sangat tidak diingin kan para orang tua, di tengah semangat anak-anak mereka kembali sekolah, dengan 100 persen PTM, setelah 2 tahun pandemi di rumah saja.

Kekerasan anak seperti tawuran kerap terjadi selepas jam sekolah selesai. Persoalan mengisi waktu luang dan tidak adanya kegiatan yang tersistem dan terstruktur menjadi penyebab utamanya. Anak-anak selepas sekolah memiliki kebutuhan menyalurkan energi lebihnya, mereka perlu tempat dalam menyalurkan bakat dan minatnya.

Baca juga:
Perang Sarung Antar Geng Remaja Bikin Resah Warga Kediri, Demi Konten?

Tapi banyak anak terjebak dalam pergaulan yang diwarnai kekerasan akibat tidak mendapatkan tempat dalam mengisi waktu luang. Sehingga mereka ikut-ikutan.

Pengawasan orang tua selepas anak selesai jam belajar di sekolah menjadi sangat penting. Karena kecenderungan terjadinya kekerasan atau tawuran pelajar pasca lepas dari sekolah.

Apalagi kondisi emosional di masa pandemi berpotensi anak memiliki agresifitas yang tinggi. WHO mengingatkan bahwa varian baru Covid 19 jenis Omicron bukan penyakit ringan. Tren angka penularan juga meningkat, sudah menyentuh 1000 kasus aktif di Jakarta. Apalagi kita tahu anak tidak sekuat orang dewasa. Terutama dalam bertindak cepat dengan kondisi sakitnya. Untuk itu anak penting untuk segera mendapatkan vaksin.

Selain itu latar belakang keluarga menjadi persoalan lanjutan bagi para pelajar yang menjadi pelaku kekerasan. Perubahan karakter anak menjadi temperamen di sebabkan kebiasaan melihat penyelesaian masalah dengan kekerasan, sehingga anak menirunya. Karena mereka bukan pendengar yang baik tapi peniru yang ulung.

Untuk itu, mari para guru, orang tua, sekolah memampukan pelajar kita dalam mengendalikan emosi selama PTM di masa pandemi, menaati protokol kesehatan. Dan menciptakan kegiatan yang penuh makna, agar tidak direbut aksi aksi kekerasan. Terutama mengajak anak-anak menjadi pengurang dampak bencana, bersama prestasi dan kreativitas mereka.

Baca juga:
Tawuran Dua Gengster di Surabaya Dibubarkan, Tiga Orang Bersajam Diamankan

Merefleksikan kembali fenomena keterbatasan dan memaknai secara positif keterbatasan selama pandemi menjadi kunci keberhasilan mengurangi emosi negatif yang mudah berkembang saat ini. Karena korbannya bisa siapa saja.

Seperti kisah di Cengkareng, pelajar SMP yang meninggal karena salah sasaran teman pelajar lainnya, tentu tidak perlu terulang kembali. Begitupun fenomena klitih di Yogyakarta yang juga viral. Klitih merupakan aksi kenakalan remaja dengan saling menunjukkan kekuatan diri kepada pelajar lainnya yang membawa kengerian kita semua.

Kita tidak ingin PTM yang baru dimulai ini, tercederai dengan aksi tawuran pelajar dan kekerasan pelajar.

Penulis: Jasra Putra, Kadivwasmonev KPAI