Pixel Code jatimnow.com

Kisah Pendakian ke Gunung Arjuno (2-Habis)

Wangi Mawar Disusul Penampakan Wanita Berambut Panjang di Penghujung Maghrib

Editor : Narendra Bakrie   Reporter : Arina Pramudita
Foto: Hutan di Gunung Selongkal (Dok. pribadi penulis)
Foto: Hutan di Gunung Selongkal (Dok. pribadi penulis)

Malang - Kami lanjut perjalanan 5 jam tanpa henti. Karena terlalu lelah, kami memutuskan istirahat di tengah hutan, yang entah lokasinya di mana.

Surya hanya diam sepanjang perjalanan. Aku duduk di sebelahnya yang terlihat resah. Kami menduga, dia merasa bersalah karena mencabut keris dari batu kemarin siang.

"Kita nge-camp saja di sini. Sepertinya bakal hujan deres banget," ujar Widhi, kami sepakat.

Persediaan air mulai menipis, kami memasang beberapa kantong air tadah hujan. Aku, Martin, dan Bagas, mendirikan tenda di tanah yang lapang. Sementara Arta memasak makan malam.

Kisah Pendakian ke Gunung Arjuno Bagian 1 : Usai Temukan Keris, Kami Dipindah dari Lembah Kidang ke Gunung Selongkal

Jelang malam, kami ngobrol santai di pintu tenda masing-masing. Menyusun rencana perjalanan besok, termasuk kemungkinan jika kami gagal menemukan jalur keluar hutan.

Jam 22.00 WIB, kami memasuki tenda. Saat sudah tertidur lelap, kami dikejutkan bau wangi dari luar tenda, sangat menyengat. Seperti aroma mawar.

Bagas menyikut aku yang sembunyi di balik sleeping bag. Aku tahu dia mencium aroma yang sama, begitu pun yang lainnya. Supaya tidak semakin panik, aku memilih mengabaikannya.

Keesokan paginya, kami mencari lokasi sumber air. Lima jam menempuh perjalanan, Bagas berteriak kencang bahwa ada dam air di dekat lokasi kami.

Aku berlari mendekati Bagas dan benar ada dam air lumayan besar di tengah hutan. Betapa terkejutnya kami, plakat dam itu bertuliskan nama salah satu desa di Kabupaten Mojokerto.

"Alhamdulillah, akhirnya kita tahu ada di mana sekarang," seru Widhi.

Aku terdiam, rupanya kita berpindah tempat jauh sekali dari tujuan sebenarnya. Jam tepat pukul 16.30 WIB, kami memutuskan istirahat sejenak. Selain lelah fisik, kami juga lelah secara mental.

Usai memakan bekal, kami berangkat lagi sebelum magrib. Menyusuri sungai aliran dam yang tadi ditemukan dan berhenti saat sudah waktunya salat.

Sekitar jam 18.10 WIB, kami memilih melanjutkan perjalanan. Imajinasi bakal melewati malam ini dengan kejadian mistis lainnya, membuat kami bertekad terus berjalan kaki agar segera sampai di perkampungan.

Deg! Aku yang berjalan di urutan ke 4, berhenti mendadak. Di sungai bawah, tepat yang kami susuri, ada wanita berpakaian lusuh, berambut panjang, sedang duduk di atas batu sambil memainkan kakinya di air. Wajahnya berpaling hingga aku tak bisa melihat jelas.

"Ta, ayo lanjut. Kamu lihat apa?" tanya Widhi mengejutkanku.

"Heh, Ta. Ayo, ndelok opo toh? (Lihat apa sih)," timpal Arta.

Bulu kuduk merinding cepat. Aku secepat kilat melangkahkan kakiku dengan setengah berlari. Meyakini jika yang tadi kulihat, bukan sosok manusia.

Kami terus berjalan melewati rumput-rumput tinggi di sekitar tepian sungai, dengan formasi Surya (depan), lanjut, Arta, Bagas, Martin, aku dan Widhi.

Tak lama, Surya tiba-tiba berhenti sampai-sampai Arta dan Bagas saling tabrak. Kami melihat Surya mengarahkan senternya dari bawah ke atas. Diulangnya terus menerus sampai kami semua saling melihat.

Sepintas, aku mendengar Surya melantunkan ayat kursi. Surat dalam Al-Quran yang diyakini bisa melindungi kami dari perbuatan buruk.

"Sur, ayo jalan aja. Gak apa-apa. Kita habis gini sampai kok," ujarku mendekatinya.

Baru berjalan 20 meter, Surya tiba-tiba menyebut nama Widhi sambil mengarahkan senter ke depan. Dia seakan-akan mengusir Widhi yang menghalangi jalannya untuk membuka jalur. Padahal faktanya, Widhi ada di belakangku yang artinya, berjalan paling belakang.

"Sur, istighfar. Aku nang kene (Aku di sini)," balas Widhi.

Baca juga:
Pengusaha Kuliner Warga Randegan Sidoarjo Meninggal, karena Melanggar Mitos?

Surya pun terduduk lemas. Beberapa kali dia berusaha meyakinkan kami jika Widhi berdiri di depannya sambil tersenyum dan menghalanginya.

Arta sesenggukan. Laki-laki tegap itu menangis ketakutan. Martin duduk bersandar pohon, sementara aku dan Widhi terdiam.

"Gusti, apalagi ini. Salahku opo?" seru Arta sambil terisak.

Aku berusaha menguatkan rekan-rekanku. Memaksa mereka bangkit dan mau melanjutkan perjalanan. Sejujurnya, aku pun panik dengan situasi ini. Sebagai satu-satunya wanita dalam tim, aku bisa saja menangis kencang ketakutan. Tapi melihat Arta mendadak goyah, aku berusaha menguatkan diri.

Belum ada 10 menit berjalan, ada lagi kejadian aneh kami lalui. Sepanjang jalur, bertaburan kelopak mawar yang wanginya menyengat.

"Rek, iki opo? Kembang iki yo? (Rek, ini apa? ini bunga?" tanya Martin.

"Ta, Ar, Wid, Gas, Tin, tadi aku melihat pocong berdiri tepat di depanku. Tingginya hampir 3 meter," jelas Surya memastikan alasan dirinya berhenti mendadak tadi.

"Aku juga. Tadi ada kuntilanak di sungai, dia mencelupkan kakinya ke air," balasku.

Kejadian mistis berurutan itu membuat kami drop. Jam menunjukkan pukul 20.20 WIB. Kami sepakat berhenti, berwudhu, lalu membaca ayat kursi bersama. Saat melantunkan ayat, kami menangis sesenggukan.

Sesudahnya, kami lanjut berjalan. Satu jam lamanya, sampai kemudian kami mendengar suara mesin kendaraan bermotor. Mata berbinar, seakan ada harapan kami bisa keluar dari gelapnya hutan.

Kami mempercepat langkah. Sampai kemudian ada jalan makadam diterangi lampu jalanan tepat 50 meter di depan kami. Serempak kami pun menyerukan syukur.

"Lho lho lho, tekan endi Le, Nduk? kok kemringet ngene?" tanya seorang pria tua yang kami temui di jalan makadam.

Baca juga:
Cerita Horor Awak Bus Malam Surabaya-Tulungagung

Kakek itu, sedang mengangkat kayu bakar untuk dibawa ke dalam halaman rumah.

"Kami kesasar, Mbah. Muter-muter di dalam hutan, sudah 3 hari," jelasku ke si Mbah.

"Kami bingung, kejadiannya aneh, sejak nemu keris di Gunung Arjuno," tambah Widhi.

Si Mbah memasang wajah terkejut dan menunjukkan tidak suka.

"Ngakuo, nangdi kerise? piye wujude? (Ayo ngaku, di mana kerisnya? bagaimana wujudnya?)" tanya kakek itu setengah berteriak.

"Ngapunten (mohon maaf) Mbah. Kerisnya masih di atas. Tidak kami bawa, sungguh. Keris tanpa gagang, tapi sudah kami taruh di lokasi yang sama," jelas Bagas.

"Ngertio, yen kowe-kowe nggowo pusaka iku, kowe-kowe iki sing dadi gagange (Ngerti, kalau kalian membawa pusaka itu, kalianlah yang menjadi gagangnya)," jelas si Mbah.

Kami saling melihat, betapa yang kami alami sungguh di luar nalar. Surya menangis, dia mengucap maaf beberapa kali.

Melihat kondisi kami yang tak karuan, Mbah memeluk kami satu-satu. Ia meminta kami terus berdoa untuk bersyukur karena masih diberi selamat hingga sampai di perkampungan.

Penulis adalah wartawan jatimnow.com