Malang - Kami menyebut peristiwa ini pantang untuk diingat. Sebab, 11 tahun sejak kejadian itu, kami masih saja merinding dan tak ingin kembali ke tempat itu.
Peristiwa itu terjadi pada 2010 lalu. Bermula dari pendakian terencana kami pada bulan Juli 2010. Ketika itu, kami memiliki misi mempelajari peta topografi Gunung Arjuno dan Welirang.
Dua Gunung tersebut memiliki wilayah administratif yang berbeda. Arjuno berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Pasuruan. Sementara Welirang, di Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto.
Selepas subuh, sekitar pukul 05.00 WIB, aku, Surya, Martin, Arta, Widhi dan Bagas menumpang bus dari Terminal Purabaya (Bungarasih) menuju Purwosari, Malang, untuk memulai pendakian ke Gunung Arjuno.
Seperti biasa, turun dari bus, kami lanjut carter mobil pedesaan untuk diantar sampai pos pendakian. Kami start pendakian sekitar pukul 10.00 WIB, setelah memenuhi semua kebutuhan logistik dan makan pagi.
Pendakian dimulai dari jalur landai melewati perkebunan warga. Sesekali kawanku Martin, berdendang lagu dari tanah timur Indonesia. Di antara kami berenam, dirinya yang memang memiliki suara paling merdu.
Kami mulai memasuki kontur jalan berbatu (makadam) selepas satu jam pendakian. Rute ini adalah jalur paling menyebalkan, karena menguji mental dan kehebatan olah napas pemilik tubuh. Belum lagi, masing-masing orang membawa beban tas kerir ukuran 80 liter di punggung.
Memasuki pukul 12.00 WIB, aku yang satu-satunya perempuan di regu ini, menyerukan istirahat untuk makan siang. Kami menyantap bekal ringan, roti dan buah.
"Habis gini kita masuk rimba. Aku paling suka suara angin tapi hening," celetuk Widhi.
Kami mengangguk setuju.
"Kita cari ketinggian yang pas buat nembak pakai kompas. Sur, siapkan altimeter sama protaktor ya," pintaku ke Surya.
Kami lanjut pendakian ke punggungan pertama. Di ketinggian 800 Mdpl, aku menembak dengan kompas, menarik garis lurus di peta untuk mengetahui lokasi kami berada saat itu. Setelah memberikan tanda di peta, kami lanjut pendakian. Arloji menunjukkan pukul 14.15 WIB.
Di punggungan kedua, kabut mulai turun. Jalan menanjak membuat napas kami tak karuan. Sampai di sebuah batu besar, Surya berteriak kencang sekali.
"Wah mahal ini. Mahal ini. Pusaka ini," teriaknya secara berulang.
Kami berlima lari ke arah Surya berdiri. Tepat di depannya sebuah keris menancap di batu. Tanpa gagang dan sarung.
Sontak kami saling pandang dan membiarkan Surya mencabut keris sepanjang 15 sentimeter itu dari batu. Sampai kemudian Widhi berteriak. Dia meminta Surya menancapkan kembali benda pusaka itu seperti semula.
Terjadi perdebatan sengit. Surya menolak. Widhi dibantu Bagas memaksanya untuk mengembalikan keris yang sudah hampir dimasukkan dalam tas. Debat keras berlanjut. Sampai akhirnya Martin menampar Surya agar mendengar omongan kami.
"Pasti ada yang gak bener. Kenapa sampai ada keris di sini," tukas Martin.
Tanpa basa-basi, Bagas meraih keris itu dan meletakkannya di samping batu. Aku menyeret Surya pergi supaya bersedia melanjutkan perjalanan. Dia pun terdiam patuh.
Pukul 17.00 WIB, kami sepakat mendirikan tenda. Selain sudah gelap, kabut di Gunung Arjuno memang tak pernah main-main. Saking tebalnya, jarak pandang sangat terbatas.
Baca juga:
Pengusaha Kuliner Warga Randegan Sidoarjo Meninggal, karena Melanggar Mitos?
"Sudah, kita ini semisi. Jangan sampai masalah tadi bikin kita hilang arah," ujarku.
Martin, Surya dan Bagas mendirikan tenda. Arta dan aku mencari air, sementara Widhi memasak makan malam. Sesampainya ke camp, aku menata peta agar tetap aman. Kulihat satu-satu tanda yang dibuat. Kebetulan, aku yang paling paham cara membaca peta di tim pendakian kali ini.
Tengah malam, Widhi berbisik padaku. Dia bilang suara hening kali ini membuatnya merinding. Aku yang menahan kantuk, meminta Widhi untuk lekas tidur supaya tenaganya pulih kembali.
Pukul 05.00 WIB, aku dan Martin keluar tenda paling awal. Dia yang tidur di tenda sebelah, tiba-tiba melihat ke sana kemari.
"Ta, kayaknya ada yang aneh. Kita semalam tidur di dalam rimba, kan?" tanyanya hati-hati.
Aku yang baru selesai menguap menahan ngantuk, seketika memerhatikan sekeliling. Dan benar, kami tidak berada di lokasi camp mendirikan tenda kemarin sore.
"Wid, piye iki (Wid, bagaimana ini)? Nggak mungkin toh tiba-tiba kita mindah tenda pas lagi tidur. Astaghfirullah," ucapku panik karena kami berada di savana terbuka.
"Gas, Sur, Tin, Ar, ayo tangi (bangun). Onok sing aneh iki (ada yang aneh ini)," teriak Widhi membangunkan rekan yang lain.
Aku meraih tas selempang di pintu tenda dan mengambil tabung plastik tempatku menyimpan peta. Membuka dan membaca di mana posisi kami. Tapi tidak ketemu. Di sekeliling tanda lokasi kami semalam, tidak ada padang savana sama sekali.
"Lho heh, kok padang ngene (Lho heh, kok terang sekali). Kita di mana ini? Jangan-jangan kita dipindahkan penghuni Arjuno," celetuk Arta.
Baca juga:
Cerita Horor Awak Bus Malam Surabaya-Tulungagung
"Hus ngawur," timpal Bagas ragu-ragu.
Kami terdiam. Sampai akhirnya Martin mengajak kami berkemas, mencari ketinggian lagi untuk menggunakan kompas dan mencari tahu titik koordinat kami.
Seperti sebelumnya, Arta menembak menggunakan kompas dan aku menarik garis lurus menggunakan protaktor.
"Gimana, Ta? Di mana kita? Ketemu lokasinya?" tanya mereka bertubi-tubi.
Aku mencoba menarik kembali garis lurus dari derajat yang disebutkan Martin. Dan kembali melihat peta. Kulakukan terus sampai empat kali.
"Kalian yang tenang ya. Tapi kalau dari peta, kita ini ada di gugusan Gunung Selongkal," ucapku pelan tapi terdengar panik.
Arta jatuh terduduk, sementara Widhi seketika bersimpuh. Kami semua terkejut. Mana mungkin bisa kami pindah dari Gunung Arjuno ke Selongkal saat tertidur.
"Saranku, kita lanjut turun. Ikuti jalur yang ada di peta. Sampai menemukan sumber air untuk persediaan. Lupakan misi, situasinya lagi nggak bener," jelasku ke tim dan mereka setuju. (Bersambung)
Penulis adalah wartawan jatimnow.com