Pixel Code jatimnow.com

Kisah Larangan Menikah Warga 2 Desa di Ponorogo

Editor : Arina Pramudita   Reporter : Mita Kusuma
Balai Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Ponorogo. (Foto-foto: Mita Kusuma/jatimnow.com)
Balai Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Ponorogo. (Foto-foto: Mita Kusuma/jatimnow.com)

Ponorogo - Kisah dua warga desa di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang pantang bersatu karena tersandung kisah leluhurnya, benar adanya.

Kisah itu dipegang teguh warga Desa Sedah dan Desa Pintu. Pemimpin dan warga desa sepaham, jika memaksakan untuk menikah, maka hubungan rumah tangganya tidak akan bertahan lama atau akan mendatangkan malapetaka.

Desa Sedah dan Desa Pintu berada di Kecamatan Jenangan. Larangan menikah itu bermula dari kisah jejaka asal Dusun Ngadiro, Desa Pintu, yang bernama Setrowijoyo.

Setrowijoyo kala itu berniat menikahi putri cantik dari Desa Sedah yang bernama Sri Tanjung.

Namun, Bhatara Warno, bapak Sri Tanjung, tidak merestuinya karena calon menantunya itu dikenal berwatak pemarah, kejam dan keras.

"Ketika anak gadisnya dilamar oleh Setrowijoyo, Bhatara Warno tidak suka dengan wataknya dan tidak ingin anak gadisnya dinikahi, tetapi tidak berani menolak lamaran tersebut karena merasa kalah kesaktian," ucap Kepala Dusun Ngadiro, Imam Basuki.

Supaya Setrowijoyo mundur niatan melamar Sri Tanjung, Bhatara Warno mengajukan syarat pitu (tujuh). Syaratnya adalah membangun taman suruh yang diapit dua gunung, membuat lumpang dan alu, membuat payung temanten, dan paku untuk memaku gunung.

"Apabila ketujuh syarat terpenuhi dalam waktu semalam, maka Setrowijoyo boleh menikahi Sri Tanjung. Karena begitu tergila-gila pada Sri Tanjung, syarat yang begitu berat disanggupi," urai Basuki.

Setrowijoyo pun memanggil bangsa jin guna meminta bantuan mengerjakan semua syarat yang diberikan sang calon mertua. Dan benar saja, dalam semalam ia berhasil memenuhi syarat pitu yang diminta Bhatara Warno.

Balai Desa Pintu, Jenangan, Ponorogo.Balai Desa Pintu, Jenangan, Ponorogo.

Baca juga:
Pertemuan Mengharukan Ibu dan Anak yang Terpisah 37 Tahun

Usai menyampaikan kabar ke Bhatara Warno, sang calon mertua pun datang diiringi keluarga dan tetangga. Mereka mengamati satu per satu ketujuh syarat yang diberikan.

Usai meneliti syarat yang dipenuhi Setrowijoyo, Bhatara Warno mengatakan bahwa yang dikerjakan Setrowijoyo hanyalah permainan anak kecil, karena terbuat dari batu saja.

Merasa dipermalukan, Setrowijoyo pun marah. Ia menanyakan sekali lagi apakah dirinya bisa menikahi Sri Tanjung.

"Bhatara Warno menjawab untuk menanyakan sendiri pada Sri Tanjung," jelas Basuki.

Sayangnya Sri Tanjung tidak menanggapi dan membuat Setrowijoyo murka. Sri Tanjung diubahnya menjadi batu dan dibuang ke wilayah Gunung Gawe. Alu, payung, dan lainnya dibuang semua.

Baca juga:
Kisah Kesetiaan Sarang Semut dan Pohon Dewandaru yang Nyata di Banyuwangi

Payung dan paku dibuang ke gunung yang kemudian dikenal dengan Gunung Sepaku. Sedangkan Bhatara Warno sendiri ngrogo sukmo (melepas sukma dari raga) dan menghilang. Namun kemudian ia tidak bisa kembali dan mati disusul Setrowijoyo.

"Dari kisah itu antara warga Desa Pintu dan Desa Sedah tidak bisa bersatu," terang Basuki.

Menurut Basuki, pernah sekali warga dua desa nekat untuk menikah. Namun akhirnya keduanya bercerai.

"Ada satu pasangan itu saja yang berani. Lainnya ndak ada," pungkasnya.