Pixel Codejatimnow.com

Hari Perempuan Internasional

Akhiri Kekerasan Anak Perempuan di Masa Pandemi, Unicef: Butuh Kolaborasi

Editor : Zaki Zubaidi  
Chief of Field Office Unicef untuk Pulau Jawa, Tubagus Arie Rukmantara. (Foto: Haryono for jatimnow.com)
Chief of Field Office Unicef untuk Pulau Jawa, Tubagus Arie Rukmantara. (Foto: Haryono for jatimnow.com)

Surabaya - Peringatan Hari Perempuan Internasional kali ini mengingatkan bahwa Pandemi Covid-19 memberikan lebih banyak kisah duka bagi anak perempuan dan remaja putri di Indonesia. Selain kehilangan anggota keluarga dan orang tersayang, kehilangan kesempatan belajar dan bermain, pandemi juga meningkatkan potensi kekerasan kepada perempuan serta meningkatnya perkawinan anak.

Chief of Field Office Unicef untuk Pulau Jawa, Tubagus Arie Rukmantara menuturkan, disrupsi terhadap kesejahteraan masyarakat niscaya pasti terjadi sebagai dampak krisis, termasuk pandemi.

"Namun tingkat keseriusan dampak negatif terhadap anak tidak terbayangkan, unimaginable. Karena pandemi-pandemi sebelumnya tidak banyak mengajarkan kita tentang apa yang terjadi pada remaja putri dan perempuan saat itu. Kita tidak punya cukup rujukan sejarah untuk melindungi anak perempuan pada masa pandemi,” katanya, dalam keterangan tertulis, Rabu (9/3/2022).

Ia melanjutkan, penutupan sekolah, pengurangan mobilitas dan pembatasan kegiatan sosial, gangguan pelayanan publik, kematian orang tua karena pandemi membuat anak perempuan, terutama yang paling rentan, berisiko tinggi untuk menikah di bawah umur.

"Dan mengalami kekerasan berbasis gender, utamanya karena ketidakpastian sosial dan ekonomi," ucap Arie.

Pembatasan sosial berskala besar, katanya, serta pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, karantina dan isolasi ternyata menyulitkan anak perempuan mendapatkan bantuan atau layanan untuk perlindungan anak.

Untuk mencegah kekerasan terjadi, Uunicef mendukung komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur menciptakan ruang yang aman bagi anak dan membuka partisipasi seluas-luasnya bagi anak-anak, terutama remaja putri dan anak perempuan.

"Pencegahan kekerasan terhadap anak perempuan dan remaja putri dapat dilakukan dengan memenuhi hak dasar mereka, hak hidup yang layak, hak tumbuh kembang, hak dilindungi, dan hak berpartisipasi. Pemerintah provinsi dan kabupaten kota sudah dan akan baik semakin sering melibatkan anak perempuan dalam kegiatan perencanaan dan pelaksaan pembangunan. Bahkan dalam pengawasan program," papaar Arie, dengan menyebut dukungan penuh terhadap Forum Anak dan partisipasi anak dalam musyawarah perencanaan pembangunan sebagai contoh.

Ketika kekerasan tetap terjadi, lanjutnya, mekanisme pelaporan dan kapasitas respon bagi para penyedia layanan harus terus dilakukan. Ia pun menjelaskan bahwa pandemi mengajarkan kepada kita adalah wabah raya tidak akan berakhir kalau kita perangi sendirian.

Baca juga:
Tahun 2023, Angka Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan di Lamongan Menurun

"Maka gelombang kekerasan anak ini harus juga diakhiri dengan kerja sama total dan all out, mengerahkan daya upaya untuk akhiri kesengsaraan pada anak-anak," ujar Arie.

Arie menjelaskan UU 17/2016 menjelaskan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak (termasuk) dalam situasi darurat.

Melalui momentum Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022, Arie mengajak semua pihak untuk komitmen mengakhiri kekerasan kepada anak perempuan dan remaja putri. Sehingga semua pihak bisa menghormati kesetaraan gender dan memastikan masa depan yang aman dan berkelanjutan bagi semua anak.

Semua pihak perlu sadar dan hormat gender sehingga dapat menghapuskan semua praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan, termasuk perkawinan usia anak pada tahun 2030.

“Ada sekitar 650 juta wanita dan anak perempuan di seluruh dunia yang menikah saat masih anak-anak. Di Indonesia, dari jutaan anak, ada lebih dari 1 juta pengantin anak yang seharusnya sekolah dan mengukir prestasi. Semakin muda seorang gadis ketika dia menikah, semakin besar kemungkinan dia menjadi terisolasi dari dunia sosial dan kemudian membuatnya sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual di dalam rumah,” ungkapnya.

Selain kekerasan, perempuan masih kurang terwakili di semua tingkat kepemimpinan politik, begitu juga di sektor swasta. “Jatim perlu bangga karena dipimpin Gubernur perempuan. Namun kita perlu perhatikan dengan seksama, apakah pemimpin daerah, tokoh politik dan CEO perempuan sudah dominan? Minimal imbang secara kuantitas dibandingkan dengan pemimpin laki-laki,” jelasnya.

Baca juga:
Predator Anak di Probolinggo Mengganas, Sebulan Terungkap 3 Kasus Kekerasan Seksual

Selain itu, menghormati kesetaraan gender akan membawa banyak manfaat. Termasuk menutup kesenjangan gender adalah hal yang benar dan adil untuk dilakukan. Serta semua itu masuk akal secara ekonomi. Kesetaraan perempuan dalam posisi politik dan ekonomi secara signifikan meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong daya saing.

"Memiliki lebih banyak wanita yang duduk posisi kekuasaan dalam politik juga akan melihat perspektif yang lebih seimbang dalam desain dan implementasi undang-undang baru, bersama dengan pendekatan yang lebih inklusif untuk pembuatan dan penyampaian kebijakan,” jelasnya.

Arie mengajak mengakhiri pandemi dengan ikut divaksin, lakukan protokol kesehatan dan dorong perbaikan sistem pelayanan kesehatan. Sedangkan mengakhiri kekerasan terhadap anak perempuan dan remaja putri dengan membangun imunitas, kekebalan terhadap bias gender, diskriminasi dan stereotyping.

"Karena semua ajaran agama menyatakan bahwa setiap manusia unik dan berbeda, maka tidak mungkin kita memandang anak perempuan dan remaja putri dengan seragam. Maka berikan ruang untuk anak perempuan dan remaja putri untuk menjadi yang terbaik di bidang masing-masing, tanpa mengalami kekerasan," katanya.