Jombang - Sebuah bangunan kuno peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Dusun Parimono, Desa Plandi, Kecamatan/Kabupaten Jombang, menyimpan sejumlah kisah seram.
Bangunan berbentuk kubus yang dinamakan warga sebagai Gerdu Papak, itu pernah disakralkan oleh warga setempat. Mengingat bangunan tersebut, pernah dijadikan pos singgah pengantar jenazah pada era pemerintahan Orde Lama.
Menurut keterangan Kepala Desa Plandi, Dwi Priyanto, bangunan Gerdu Papak dulunya difungsikan sebagai pos penjagaan oleh pemerintah Belanda. Hal ini dikarenakan sebelum muncul nama Desa Plandi, wilayah tersebut, merupakan pangkalan udara milik Belanda.
“Gerdu Papak itu sebagai pos penjagaan tentara Belanda. Karena di Desa Plandi itu landasan pesawat terbang. Kalau di Jombang itu landasan pesawat terbang Belanda ada di Plandi dan Ngoro,” terang Dwi, saat ditemui di kantornya, Rabu (6/4/2022).
Dikatakan Dwi, Desa Plandi dijadikan pangkalan pesawat Belanda karena di desa itu terdapat kelompok gerilyawan tentara Diponegoro.
“Pusat perlawanan ini di Plandi, karena pada tahun 1887, pasukan Diponegoro ini bergerilya di Plandi, pasukan ini dipimpin Mbah Sadrani,” tegasnya.
Peristiwa perlawanan ini, lanjut Dwi, memang benar-benar terjadi di Plandi, karena ada peninggalan benteng Belanda di sekitar Plandi.
“Salah satu bangunan peninggalan benteng Belanda ini di Plandi sebelah utara, tapi sekarang bentengnya sudah dibongkar,” paparnya.
Ia menjelaskan, tentara Belanda saat itu sudah mempersiapkan diri untuk lari dari Indonesia, jika nanti ada perlawanan dari tentara Diponegoro, maupun perlawanan dari tentara Jepang.
“Nah di situlah Belanda membangun pos yang dinamakan sekarang Gerdu Papak. Pos itu tempat keluar masuknya pasukan Belanda. Dulu pos yang di samping jembatan ini pernah dibom oleh Jepang, tapi gak mempan,” bebernya.
Baca juga:
Misteri Penyebab Lubang di Dasar Sungai Kaliasat Blitar Terungkap
Setelah kalah dengan Jepang, sambung Dwi, tentara Belanda meninggalkan Desa Plandi, dan bangunan pos penjagaan itu, beralih fungsi sebagai pos jaga milik desa, atau yang sering disebut, gerdu.
Ia menyebut, secara fungsinya pos ini dipergunakan untuk tempat transit mayat dari rumah sakit. Karena saat itu belum ada ambulance.
“Pos itu tetap dipergunakan, untuk orang yang meninggal dari rumah sakit itu transitnya di pos (Gerdu Papak). Nah mayat ini diantar secara estafet, antar desa. Dan diangkat kayak ditandu gitu mayatnya,” ungkap Dwi.
Ia mengaku jika dulu setiap kepala desa itu memerintahkan setiap pos perbatasan antar Desa itu dijaga orang, minimal 4 orang. Dan karena dibuat transit mayat, mungkin hal inilah yang membuat Gerdu Papak menjadi angker, dan menyimpan misteri.
“Karena image orang zaman dulu ya, kalau ada mayat di situ, pasti dijadikan tempat angker, karena seringnya warga menyebut Gerdu Papak sebagai tempat angker, nah di situlah komunitas demit itu berdatangan, dan jadi persinggahan,” bebernya.
Kondisi ini, imbuh Dwi terjadi sejak tahun 1945 hingga tahun 1950. Selain itu, mayat-mayat yang transit di Gerdu Papak ini, kebanyakan adalah mayat korban pembunuhan.
Baca juga:
Mitos Gunung Pegat Ponorogo, Calon Pengantin Ada yang Berani Melanggar?
“Paling banyak itu mayat pembunuhan, karena saat itu, mayat korban pembunuhan itu agak tak dipedulikan pihak keluarga,” ucapnya.
Ia mengatakan, jika ada orang mati tempo dulu, biasanya kalau penyebabnya sakit, itu bisa dipastikan meninggalnya di rumah. Namun, kalau meninggalnya di rumah sakit, kebanyakan itu korban pembunuhan.
“Dan itulah tempat itu dianggap angker, karena yang meninggal itu belum tentu bersih. Karena yang meninggal itu rata-rata orang yang dibunuh, atau pembunuhan,” tegasnya.
Dan saat ini, di era milenal, cerita-cerita mistis Gerdu Papak di masyarakat sedikit berkurang. Namun untuk cerita sejarah tetap masih turun temurun diceritakan dari generasi ke generasi.
“Kita ya tetap ceritakan sejarahnya ke anak cucu, kita semua,” pungkasnya.
URL : https://jatimnow.com/baca-43639-gerdu-papak-parimono-jombang-tempat-transit-mayat-korban-pembunuhan