Pixel Codejatimnow.com

Nenek di Mojokerto Ini Tetap Eksis Produksi Kutang Jadul

Editor : Sofyan Cahyono  Reporter : Achmad Supriyadi
Peni saat produksi kutang jadul.(Foto: Nor for jatimnow.com)
Peni saat produksi kutang jadul.(Foto: Nor for jatimnow.com)

Mojokerto - Membanjirnya bra atau baju dalam perempuan buatan pabrik, tak menyurutkan semangat Peni untuk berkarya. Perempuan 67 tahun itu terus membuat kutang dengan model jadul. Aktvitas tersebut sudah dilakukan sejak 1985 dengan mesin jahit tua miliknya.

Pembuatan kutang jadul dilakukan Peni di rumahnya, Dusun/Desa Banyulegi, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto. Produk yang dihasilkan nenek empat cucu ini terbilang sudah cukup langka di pasaran. Sebab, Peni hanya membuat desain pakaian dalam khas Jawa klasik atau yang juga dikenal juga dengan kutang suroso.

"Buat baju dalam atau kutang mulai 1985 sampai sekarang," kata Peni saat ditemui di sela memproduksi kutang, Minggu (18/9/2022).

Kutang suroso atau kutanga jadul yang identik dengan perempuan era 1960-an, ternyata hingga kini masih diminati. Meskipun jumlah permintaan kian tahun terus menyusut akibat kalah bersaing dengan produk pabrikan yang lebih modern.

Peni saat produksi kutang jadul.(Foto: Nor for jatimnow.com)Peni saat produksi kutang jadul.(Foto: Nor for jatimnow.com)

Untuk itu, Peni kini hanya memproduksi 3-4 buah saja per hari. Itupun kalau kondisi badannya sedang fit.

”Dulu, sehari bisa 8 sampai 10,” ujarnya.

Sejak awal merintis usaha 37 tahun silam, ibu dua orang anak ini tetap mempertahankan desain klasik. Nyaris tak ada perubahan yang signifikan, baik dari sisi model dan bahan baku. Hanya saja mulai 2000-an, dia menambah sentuhan resleting sebagai tempat menyimpan barang berharga.

”Untuk menaruh uang, dan perhiasan," ucapnya.

Baca juga:
Pj Wali Kota Mojokerto Kerja Bakti bareng Warga: Penting untuk Cegah DBD

Ada tiga jenis produk yang dihasilkan. Masing-masing untuk kelompok umur remaja, dewasa, dan lansia. Sejauh ini, hasil karnya buatannya dipasarkan di sejumlah daerah.

"Peminatnya ada yang usia usia 30-40 tahun, yang muda seperti remaja-remaja dan tua juga masih ada,” imbuhnya.

Pembuat kutang jadul lainya, Subadi menambahkan, aksesori perempuan tersebut tercatat pernah diproduksi di 72 rumah penduduk di Desa Banyulegi. Namun minimnya regenerasi membuat produktivitas di kampung kutang klasik menurun drastis.

”Sekarang hanya tinggal 20-an saja, itupun usianya sudah di atas 50 tahun semua,” ucap Badi sapaannya.

Baca juga:
Bupati Mojokerto Janji Bangun Ulang Tanggul saat Salurkan Bantuan Korban Banjir

Selain pamornya kalah dengan mobel bra modern, murahnya harga penjualan juga menjadi pemicu minimnya peminat. Sebab harga jual sulit beranjak dari kisaran Rp7.500 sampai Rp10 ribu per potong. Di samping itu, pangsa pasar kini juga mulai menyempit. Di awal produksi 1980-90an, produk kutang klasik bisa menembus hingga Jawa Tengah dan Pulau Dewata. Namun, saat ini hanya dipasarkan di daerah sekitar Jatim.

”Jadi dipasarkan di lokalan saja,” tandasnya.

Terkait bahan dasar, sejauh ini Subadi mengaku belum menemui kendala. Sebab para perajin memanfaatkan sisa potongan kain dari konveksi di Surabaya yang dibeli per kg.