Pixel Codejatimnow.com

Keberadaan Ponpes Gusur Prostitusi di Sekitar Pabrik Gula Sidoarjo

Editor : Rochman Arief  Reporter : Zainul Fajar
PG Tulangan yang dibangun era kolonial dan menyimpan jejak sejarah kelam di ranah prostitusi. (foto: Sidoarjo Masa Kuno for jatimnow.com)
PG Tulangan yang dibangun era kolonial dan menyimpan jejak sejarah kelam di ranah prostitusi. (foto: Sidoarjo Masa Kuno for jatimnow.com)

jatimnow.com– Berdirinya pabrik gula (PG) di Sidoarjo menjadi simbol industrialisasi di era kolonial. Keberadaan pabrik gula menjadi pengendali perekonomian regional. Tidak hanya dalam negeri, tapi juga untuk memenuhi pasar luar negeri.

Pabrik gula, kala itu, dijadikan mesin uang untuk menyuplai kebutuhan logistik. Kebetulan di era kolonial Perang Dunia pecah hampir di seluruh Eropa dan beberapa negara Asia.

Menurut pemerhati sejarah di Sidoarjo, Sudi Harjanto menyebutkan perkembangan industri gula membuat Belanda secara berkala membangun sejumlah pabrik gula di penjuru kota delta.

Usai membangun PG Candi pada 1832, beberapa pabrik lain berdiri. Total ada 15 PG yang dibangun Belanda di masa kolonial.

“Tersebar di setiap kecamatan, yang meliputi Tulangan, Krembung, Prambon, Porong, Candi, Sidoarjo Kota, Buduran, Krian, Taman, Waru, Gedangan, Tanggulangin, Wonoayu, Krian, dan Balongbendo,” ujar pria yang akrab disapa Sudi tersebut.

Belanda sukses menggandeng para penguasa lokal setingkat kecamatan hingga kabupaten untuk memperkokoh PG. Belanda memanfaatkan kereta api dengan tujuan Pelabuhan Tanjung Perak guna mengirim gula ke sejumlah daerah maupun luar negeri.

Keberadaan pabrik gula di Sidoarjo membawa efek bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah menjamurnya prostitusi untuk kelas bawah hingga menengah.

Sudi menggambarkan Ada Gula Ada, untuk menggambarkan prostitusi sebagai dampak dari industrialisasi.

Baca juga:
Tulungagung Dipercaya jadi Referensi Industri Tebu Nasional, Khofifah: Potensi Pasar Ekspor

“Prostitusi kelas menengah saat itu bernama sociates. Rata-rata para pekerja dari Belanda yang bertamu. Nah (prostitusi) kelas bawah, berdiri di sekitar kelas menengah. Adapun PSK mayoritas warga lokal,” paparnya.

Pria yang juga Ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno itu menjelaskan, keberadaan 15 PG dibarengi dengan munculnya lokalisasi dengan jumlah sama.

Pria yang juga lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah menambahkan bila pekerja asal Belanda lebih tertarik PSK lokal. Alasannya mereka dilarang membawa anak-istri selama di Indonesia.

Seiring berkembangnya waktu, titik-titik prostitusi di sekitar PG mulai hilang. Salah satu sebab adalah mulai bangkrutnya pabrik buatan Belanda.

Baca juga:
Bank Jatim Teken Kerja Sama dengan Pabrik Gula dan PKTPR Malang, Dukung Pembiayaan Petani Tebu

Termasuk pula keberadaan pondok pesantren (ponpes) yang mulai berdiri di Sidoarjo. Ditambahkan Sudi bila peran ponpes sanggup menekan prostitusi.

“Ditambah dengan perlawanan para pekerja, santri dan masyarakat kelas bawah pada Belanda, juga menjadi satu faktor meredupnya dominasi Belanda kala itu,” terangnya.

Menurut catatan Sudi, satu-satunya pabrik gula yang masih aktif adalah PG Candi. Namun demikian, prostitusi yang juga masih berjalan hanya terdapat di tiga titik.

“Yakni di Tangkis (Porong), Krengseng (Krian), dan Randu Pitu (Candi). Ketiganya sudah ada sejak zaman Belanda,” pungkasnya.