jatimnow.com - Persik Kediri yang berjuluk Tim Macan Putih memiliki sejarah panjang dipersepakbolaan Tanah Air.
Dua kali mereka merengkuh titel juara di kasta tertinggi Liga Indonesia, yaitu Tahun 2003 dan 2006. Prestasi yang hanya mampu diukir segelintir tim saja.
Sejak lahir di Tahun 1950, Persik dikenal dengan lambang Macan Putihnya yang ikonik. Tak sekadar gagah-gagahan, tapi ada cerita syarat makna di balik pemilihan ikon itu.
Di balik itu, ada kisah dan perjalanan dua bersaudara Gagangaking dan Bubuksah yang belajar tentang ketuhanan di kawasan Gunung Klotok.
Sejarawan dan Budayawan Kediri, Imam Mubarok mengatakan, pemilihan Macan Putih sebagai ikon Persik tidak lepas dari cerita rakyat Gagangaking dan Bubuksah.
"Jadi ini cerita lama, cerita dengan latar Kediri murni yang berkembang di abad ke-14 era Majapahit," ujar pria yang akrab disapa Gus Barok itu, Kamis (10/11/2022).
Perjalanan dua saudara di Kediri dimulai dari Dermaga Jong Biru. Dewasa yatim piatu itu tidak memiliki uang saat menyebrangi dermaga. Keduanya lantas dibantu tukang perahu.
Saat itu, perahu yang mereka tumpangi sangat cepat untuk sampai di barat sungai. Hal itu sempat membuat si tukang perahu kaget.
Mereka kemudian masuk ke arah Klotok. Di sana mereka kemudian bertemu pawiyatan atau tempat pendidikan. Mereka kemudian ingin berguru tentang ketuhanan.
"Jadi nama ini merupakan pemberian sang guru. Gagangaking ini Kebo Milih, karena kurus kering namanya Gagang Aking. Satunya Kebo Ngrawek segala hal dimakan, ini namanya kemudian diganti Bubuksah," beber Gus Barok.
Setelah melalui pendidikan, mereka kemudian memilih tempat. Mereka mendarmakan dirinya agar bisa mendekatkan diri ke Tuhan.
"Dia memilih melewati patirtan di mana ada candi-candi di atasnya. Ini kemudian sama dengan temuan di Tahun 2018 kemarin," terang dia.
Baca juga:
Kondisi Terkini Agil Munawar, Bek Kenan Persik Kediri yang Sempat Operasi Engkel
Dalam pertapaan tersebut, sang guru memerintahkan Kolowijo untuk menjelma menjadi Macan Putih dan memangsa mereka. Macan Putih lalu menemui keduanya dan hendak memangsanya. Namun Gagangaking menolak karena dia merasa kurus.
"Saya kurus nggak enak dimakan. Tapi ada saudara saya Bubuksah," ungkap Gus Barok menirukan perkataan Gagangaking.
Bubuksah kemudian didatangi. Meski Bubuksah memiliki kebiasaan memakan segala hal, tapi dia mengaku iklas jika harus dimakan oleh Macan Putih.
"Silakan kalau makan saya. Tapi sebentar saya tak mencari jerat-jerat hewan yang di situ ada tangkapan saya. Saya harus makan dulu, saya harus mensucikan diri dulu," kisah Gus Barok.
Kemudian Macan Putih itu meletakkan orang cebol di jerat Bubuksah untuk benar-benar menguji keiklasannya. Dan dimakanlah orang cebol tersebut.
Setelah makan dan mensucikan diri, Bubuksah menyatakan siap dimakan. Lalu Macan Putih bercerita di mana ia diperintahkan oleh guru untuk melihat siapa dari kedua ini yang benar-benar utusan Tuhan.
Baca juga:
Persik Kediri Gandeng DRX Wear, Rancang Jersey Baru dengan Teknologi NFC
"Ternyata dari situ Macan Putih menyampaikan bahwa orang yang bertirakat belum tentu yang mempeng (konsisten) itu pasrah," jelas pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri tersebut.
Di akhir cerita, keduanya kembali ke Nirwana. Bubuksah naik punggung Macan Putih, sementara Gagangaking memegang ekornya.
Ikon Macan Putih menurut Gus Barok digunakan sejak Persik Kediri berdiri 1950. Setahun setelah Kota Kediri memiliki kedudukan administratif.
Macan Putih merupakan sosok penguasa Kediri bersama Buta Locaya dan lainnya.
"Cerita ini memang terkenal bahkan tidak hanya di Jawa, tapi di Bali. Jadi cerita Gagangaking dan Bubuksah ini terkenal di Bali, bahwa tentang Macan Putih tentang Kediri ini ada tidak hanya sekadar di sana di Gunung Klotok ada Macan Putih," tandas Gus Barok.