Pixel Code jatimnow.com

Fenomena Gengster, Psikolog Soroti Peran Lembaga Perlindungan Anak

Editor : Rochman Arief   Reporter : Farizal Tito
Ketua HIMPSI Pusat, Dr. Andik Matulessy, M.Si. (foto: Farizal Tito/jatimnow.com)
Ketua HIMPSI Pusat, Dr. Andik Matulessy, M.Si. (foto: Farizal Tito/jatimnow.com)

jatimnow.com - Fenomena munculnya gangster yang mayoritas beranggotakan remaja dalam beberapa pekan ini telah meresahkan masyarakat. Tindakan remaja ini menjadi sorotan lantaran dinilai sebagai bentuk eksistensi diri.

Tapi persoalan ini tidak selesai di tingkat orang tua maupun lingkungan sekolah. Ada pihak lain yang perlu memberi perhatian lebih, misalnya lembaga swadaya yang konsen dengan pertumbuhan anak.

Seperti yang disampaikan Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Pusat, Dr. Andik Matulessy, M.Si.

Ia mengungkapkan penanganan fenomena gengster ini selain dibutuhkan peran pemerintah, juga butuh support dari Lembaga Perlindungan Anak dan LSM Pemerhati Anak.

“Saya melihat kinerja (sejumlah LSM) masih responsif atau reaktif, bukan pada unsur preventif,” kata Andik, Senin (5/12/2022).

Pria yang juga Ketua Program Studi Magister Psikologi Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini menilai sebenarnya langkah preventif jauh lebih efektif. Pasalnya dalam hal ini remaja seharusnya dapat mengarahkan ke jalan yang semestinya dapat berdampak positif.

“Artinya jika anak sudah melakukan tindakan kriminal, mau tidak mau ada hukum yang berjalan. Padahal hukuman kepada anak, sebenarnya tidak menyelesaikan masalah,” lanjutnya.

Ia mencontohkan kesempatan anak memunculkan eksistensi, seperti balap motor, perlu diarahkan dan diwadahi, agar tidak memunculkan balap liar. Sebaliknya, jika menerapkan langkah preventif, anak itu tidak larut atau terpengaruh pokok permasalahan kelompok.

Baca juga:
Di Hotel Ponorogo, Pelaku Pembunuhan Menantu, Diduga Jadi Korban Gengster

Ia tidak menampik efektivitas dalam mengarahkan remaja dilakukan dalam lingkup lembaga pendidikan dan keluarga. Namun tidak menutup kemungkinan peran LSM bisa masuk ke ranah-ranah tersebut.

Sementara itu, pakar psikologi klinis pernikahan dan keluarga Universitas Ciputra (UC), Stefani Virlia S.Psi., M.Psi., menyebut, fenomena ini digambarkan seperti gunung es.

Di mana jika dilihat dari atas terlihat sedikit, namun mengakar atau sudah banyak di tingkat kelompok paling bawah. Bentuk antisipasinya, orang tua harus memberi penguatan dan pembentukan karakter positif.

Ia melihat dari perkembangan sudut pandang psikologi, remaja identik mencari jati diri. Dalam hal ini, selalu identik dengan galau, bingung dan siapa dirinya.

Baca juga:
Lengan Kanan Remaja Putri Putus, Diduga Jadi Korban Kesadisan Gengster di Tuban

“Tahapan ini yang harus dipenuhi. Di mana remaja mulai berjarak dengan orang tua. Mereka merasa hubungan dengan teman sebaya lebih penting dibanding keluarga,” katanya.

Ia menilai orangtua harus peka pada saat anak tumbuh dewasa. Orang tua diminta menempatkan diri sebagai mentor, karena remaja tidak menyukai instruksional. Dengan kata lain, orang tua harus menjadi pendengar yang baik bagi anak.