Pixel Codejatimnow.com

Pencitraan Caleg: Tak Boleh Salah, Tapi Boleh Bohong

Editor : Endang Pergiwati  
Ilustrasi. (dok jatimnow.com)
Ilustrasi. (dok jatimnow.com)

jatimnow.com - Pesta Demokrasi yang digelar tiap 5 tahun sekali di Indonesia memang istimewa. Hampir seluruh masyarakat terserap perhatiannya untuk mencermati para calon yang melangkah ke panggung politik.

Sebagian lagi masyarakat mencoba mengais keuntungan materi dari para calon, yang nyaris bersedia melakukan apapun demi keberhasilan pencalonan. Sebagian lagi, malah merasa jengah, jemu atau bahkan muak dengan para calon maupun orang-orang yang mencoba mencari keuntungan, baik ekonomi, politik maupun fasilitas bidang lainnya.

Terjun secara langsung saat melakukan peliputan terhadap kegiatan kampanye membuat seorang jurnalis bersinggungan secara langsung dengan para politikus dan para tim sukses (timses) di belakang para politikus. Saat bersinggungan langsung itulah, kita mendapati warna-warna kepentingan dari pesta demokrasi.

Pada kegiatan peliputan di masa tahapan Pemilu 2024, saya lakukan yaitu kampanye dua calon legislatif (caleg) dari 2 partai berbeda, saya juga menemukan warna-warna itu.

Para tim sukses tampak berusaha keras melakukan persiapan secara matang untuk mempertemukan calon wakil rakyat dengan masyarakat daerah pemilihan (dapil). Tentu saja, tujuannya, dari pertemuan tersebut, masyarakat dapat terkesan dengan sosok caleg dan memilih sosok tersebut dalam pemungutan suara.

Baca juga:
50 Caleg Lolos DPRD Kabupaten Probolinggo, Golkar Raih Kursi Terbanyak

Di sisi lain, caleg juga diharapkan akan mendengarkan aspirasi atau harapan dari masyarakat dapilnya. Karena tujuan yang sangat penting inilah, timses harus berjuang keras, agar kegiatan pertemuan itu bisa berjalan lancar dan sukses.

Namun suksesnya kegiatan kampanye, bisa dipengaruhi banyak faktor. Tidak hanya dari kesiapan caleg, masyarakat setempat, terlebih juga pengaruh dari publikasi atau pemberitaan di media massa, maupun media sosial. Demikian pula dalam kegiatan kampanye yang saya liput. Pihak penyelenggara kegiatan yang juga merangkap timses caleg ini, merancang kegiatan sedemikian rupa agar tim media bisa dikondisikan untuk menulis pemberitaan yang berpihak.

Sebagai wartawan yang melakukan peliputan, saya berupaya fokus pada inti dari kegiatan kampanye tersebut, yaitu komunikasi dua arah antara caleg dan masyarakat dapilnya. Di sisi lain, wartawan selalu tergelitik untuk mengulik hal-hal kecil, yang bisa menjadi hal menarik untuk diungkap.

Baca juga:
50 Calon Anggota DPRD Bojonegoro Terpilih Menunggu Penetapan MK

Namun dari 2 kegiatan kampanye tersebut, hal yang cukup menarik adalah seberapapun idealnya sosok caleg yang ditampilkan, peran media membuat caleg membalut diri dengan pencitraan yang sangat tebal. Demi pencitraan itulah, seorang caleg juga bisa menyangkal pernyataannya sendiri, meski hal itu telah terekam dalam perangkat perekam suara saat dilakukan wawancara secara langsung. Seharusnya, penyangkalan itu terbantahkan dengan sendirinya. Namun penyangkalan itu tetap ada. Dari pihak caleg itu sendiri menilai penyangkalan tersebut perlu demi pencitraan yang sedang dibangun.

Hal ini membuat saya teringat pada perkataan seorang wartawan senior di Surabaya, yang sangat menguasai topik politik dan Pemilu dengan segala carut marutnya. Pria bernama Machmud Suhermono yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, mengatakan, wartawan tidak boleh bohong, tetapi boleh salah. Sementara politikus itu tidak boleh salah, tetapi boleh saja dia berbohong.