Pixel Code jatimnow.com

Ironi Politik Surabaya, Gagalnya Kaderisasi Parpol di Pemilu 2024

Editor : Zaki Zubaidi   Reporter : Ni'am Kurniawan
Eri Cahyadi dan Armuji saat menerima rekom dari PDIP (foto: Ni'am Kurniawan/jatimnow.com)
Eri Cahyadi dan Armuji saat menerima rekom dari PDIP (foto: Ni'am Kurniawan/jatimnow.com)

jatimnow.com - Pertama dalam sejarah pilkada Surabaya, kontestasi lima tahunan ini hanya akan diikuti satu bakal pasangan calon (bapaslon). Hal ini menjadi ironi sekaligus pembuktian bahwa partai-partai politik di Surabaya ini gagal menelorkan kader yang memiliki daya saing sebagai penantang untuk petahana Eri Cahyadi dan Armuji.

Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Surokim Abdussalam menyampaikan, gerilya para aktor-aktor politik di belakang layar telah berhasil membuat seluruh partai satu komando untuk mencalonkan satu bapaslon saja. Hal ini bagi dia menjadi ironi untuk Surabaya yang notabenenya merupakan kota metropolitan.

"Tidak pernah terjadi sebelumnya di Surabaya. Hebat sekali aktor-aktor politik Surabaya di belakang layar itu yang kemudian membuat situasi seperti ini bisa terjadi," kata Surokim, Rabu (28/8/2024).

Surokim menjelaskan, sedikitnya ada tiga indikator yang bisa menyebabkan situasi petahana melawan bumbung kosong ini bisa terjadi. Pertama, terbentuknya koalisi besar lantaran ketentuan threshold yang harus memenuhi 20 persen dari kursi parlemen.

"Keputusan MK ini kan terlambat, jadi awalnya mendasarkan pada threshold itu yang kemudian membuat partai-partai menjalin komunikasi berkoalisi agar memenuhi syarat itu. Sehingga sebelum keputusan ini keluar, maka sudah ada komunikasi dan menjalin koalisi dan terbentuk koalisi besar," ucapnya.

Baca juga:
Pendukung Kotak Kosong Siap Gembosi Suara Eri-Armuji di Pilwali Surabaya 2024

Kedua adalah kekuatan incumbent yang diframing dengan kondisi riil lapangan bahwa bapaslon ini terlalu kuat. Dari situ, partai-partai lain yang mulanya tidak masuk dalam koalisi menjadi gerogi dengan potensi yang dimiliki kadernya. Alhasil, mereka pun akhirnya turut merapat.

"Kemudian yang ketiga, parpol-parpol di Surabaya gagal melahirkan pemimpin-pemimpin publik alternatif yang berkualitas. Paling tidak yang bisa menyaingi atau mungkin sebanding dengan incumbent. Seolah-olah gak ada yang bisa menandingi petahana," tuturnya.

Ketiga faktor ini yang kemudian menurut dia berhasil memunculkan fenomena calon tunggal di pilwali Surabaya. Surokim mengaku kondisi ini membuat dia heran, aneh, sekaligus tidak begitu sehat bagi perpolitikan hari ini. Mengapa demikian?

Baca juga:
Eri - Armuji Periksa Kesehatan di RS dr Soewandhie Surabaya

Dia menjelaskan, jika ditarik ke arah kaca mata demokrasi elektoral, Surabaya ini merupakan kota metropolitan dengan jumlah penduduk yang besar. Tapi, yang muncul dalam dinamikanya justru partai-partai baik parlemen dan non parlemen semua seiya sekata mufakat.

"Tapi ya fakta politik harus kita terima bahwa memang incumbent tidak salah karena memang faktanya tidak ada yang mengajukan. Pilwali Surabaya sudah selesai. Tinggal formalitas prosedural. Semuanya sudah selesai. Karena secara matematika, tidak mungkin kotak kosong bisa menang di Surabaya," pungkasnya.