Pixel Code jatimnow.com

Kritik Film "Bidaah", Alumni UNAIR Raih 2 Penghargaan Internasional

Editor : Ni'am Kurniawan   Reporter : Ali Masduki
Aidatul Fitriyah, atau Afriya, berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Foto: Humas Unair for jatimnow.com
Aidatul Fitriyah, atau Afriya, berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Foto: Humas Unair for jatimnow.com

jatimnow.com - Seorang alumni Universitas Airlangga (UNAIR), Aidatul Fitriyah, atau Afriya, berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.

Ia meraih dua penghargaan bergengsi dalam ajang 3rd International Article Writing Competition (IAWC) yang diselenggarakan oleh Multimedia University (MMU), Selangor, Malaysia, pada 20 Juli 2025 lalu.

Kompetisi yang diikuti peserta dari berbagai negara Asia ini membagi peserta ke dalam tiga kategori: mahasiswa sarjana, pascasarjana, dan umum.

Afriya, yang juga Wisudawan Berprestasi UNAIR 2024, ikut serta dalam kategori umum dan berhasil meraih dua penghargaan sekaligus.

Hebatnya lagi, Afriya tidak hanya berpartisipasi sendiri. Ia memimpin dua tim riset berbeda yang sama-sama berhasil meraih penghargaan.

Tim pertama, yang beranggotakan Ahmad Harith Irfan bin Hamdan (alumni University of Malaya dan Ketua Southeast ASEAN Studies Association 2023-2024), menjuarai kategori Language and Communication.

Sementara tim kedua, bersama Ahmad Dailami Fadhil (mahasiswa Université Sidi ben Abdellah, Maroko, sekaligus Ketua PPIDK Timur Tengah dan Afrika), meraih juara dua dalam kategori Media Criticism.

Uniknya, kedua riset tersebut sama-sama mengupas film Bidaah, sebuah serial yang berani mengangkat isu penyimpangan agama dalam komunitas tertutup. Meskipun objek riset sama, pendekatan yang digunakan berbeda.

"Riset pertama menggunakan teori Critical Discourse Analysis Fairclough untuk melihat bagaimana bahasa, simbol, dan visual digunakan sebagai alat dominasi ideologis," jelas Afriya.

Baca juga:
Mengenal Profesi Diplomat, Apa Perannya Untuk Negara?

"Sedangkan riset kedua saya analisis dari sudut teologi Islam dan hukum fikih untuk mengkritik doktrin penyimpangan agama tersebut," tambahnya.

Pilihan tema ini dilatarbelakangi keprihatinan Afriya terhadap maraknya penyimpangan agama yang seringkali luput dari sorotan kritis.

"Lewat film sebagai medium populer, kita bisa membongkar bagaimana kekuasaan bekerja secara simbolik dan tersembunyi dalam kemasan spiritualitas," ujarnya.

"Ini bukan hanya soal representasi agama, tetapi soal bagaimana agama dimanfaatkan untuk menundukkan nalar, tubuh, dan kehendak manusia," lanjutnya.

Baca juga:
Bisakah RS Asing Atasi Masalah Kesehatan RI?

Proses riset yang dilakukan pun cukup intensif. Analisis tekstual dan visual dilakukan secara detail pada setiap adegan film untuk melacak bagaimana otoritas agama digunakan sebagai alat dominasi dalam membentuk doktrin penyimpangan tersebut.

Kendati kompetisi dilakukan daring, tantangan koordinasi lintas negara dan disiplin ilmu tetap menjadi hambatan yang berhasil diatasi oleh Afriya dan timnya.

Afriya berharap temuan risetnya tidak hanya menjadi dokumen akademik belaka. "Ke depan, saya berharap temuan ini dapat menjadi wacana kritis yang berdampak luas, baik dalam studi media, representasi agama, maupun budaya populer," harapnya.

Ia juga menegaskan bahwa penghargaan ini bukan sekadar prestise, melainkan "soal validasi terhadap kerja keras dan keberanian berpikir kritis untuk berpihak pada yang tertindas."