Pixel Codejatimnow.com

Mengunjungi Batu Hitam, Wisata Air dan Kuliner Tradisional Banyuwangi

Editor : Arif Ardianto  Reporter : Hafiluddin Ahmad
Pengunjung menikmati pemandian air pegununggan di Wisata Batu Hitam
Pengunjung menikmati pemandian air pegununggan di Wisata Batu Hitam

jatimnow.com - Pemandian Batu Hitam adalah salah satu rujukan wisata jika kita berkunjung ke Kabupaten Banyuwangi. Terletak di Dusun/Desa Pakis, Kecamatan Songgon, wisata ini menawarkan pemandian alam serta kuliner tradisional yang menggoda.  

Untuk pecinta masakan pedas disiapkan sambal teri, sambal petai, sambal udang, dan sambal tempong yang disajikan mendampingi tiap menu.

Wisata pemandian yang sekaligus menyediakan makanan khas pedesaan itu dikelola di atas lahan seluas 1 hektare oleh pasangan suami-istri Diroyah Mayasari (43) dan Ali Imron (52).

Dari Kota Banyuwangi berjarak sekitar 26 kilometer dan dapat ditempuh antara 30 hingga 40 menit menggunakan motor ataupun kendaraan keluarga.

Setibanya di Jalan Ahmad Yani, Desa Pakis, pengunjung yang menggunakan kendaraan roda empat harus berjalan kaki sekitar 200 meter.

Sedangkan yang mengendarai motor, dapat membawa kendaraannya sampai di lokasi. Namun saat ada acara festival di desa itu semua pengunjung diharuskan jalan kaki.

Dari lahan parkir menuju lokasi, pejalan kaki akan menapaki jalan paving dan pemandangan sungai, persawahan, dan kebun-kebun.

Wisata Pemandian Batu Hitam cukup rindang. Sebab di beberapa titik tumbuh pohon manggis, durian, dan beberapa pohon lainnya, diantaranya kelapa dan mahoni.

Seperti di bulan Oktober-November, musim buah manggis dan durian, jumlahnya melimpah. Lebih enak apabila buahnya masak pohon.

"Untuk konsepnya kita siapkan wahana dulu untuk anak-anak bermain. Dan kuliner tradisional," kata Maya--sapaan Diroyah Mayasari, Senin (12/11/2018).

Alasan ibu 3 anak menjajakan pelasan ikan, pelasan tawon, pecel pitik, aneka sambal, dan berbagai masakan ayam untuk melestarikan warisan masakan para pendahulu desa itu.

Apa yang dilakukannya ini juga untuk menangkap peluang dari pertumbuhan pariwisata di Banyuwangi yang kian meningkat dari tahun ke tahun jumlah kunjungannya.

"Kultur lahannya, tatanannya kita pertahankan karena itu yang kita jual. Jadi suasana pedesaannya kerasa banget," katanya.

Maya menceritakan, biasanya sebagian besar pengunjung yang rata-rata rombongan keluarga atau rekan kerja betah untuk berlama-lama bersama warga sekadar duduk-duduk sambil menikmati durian di dekat pohon, makan di pinggir kolam. Bahkan, ada yang setelah makan kembali berenang sampai makan lagi.

Baca juga:
Kunjungan Wisata ke Jatim Selama 2023 Memuaskan, Daya Tarik Meningkat 44 Persen



"Kalau di sini airnya seger memang. Karena langsung dari sumber, itu dekat. Jadi terus mengalir airnya," kata dia seraya menunjuk ke lokasi sumber air yang berjarak sekitar 25 meter dari kolam, hanya tertutup pagar.

Di lain sisi, Maya juga mengajak masyarakat setempat untuk memulai mengelola lahan perkebunan dan pertanian supaya dapat menarik wisatawan.

"Kedepannya kami ingin di sini menjadi agro wisata bersama seluruh masyarakat. Kita rangkul, kita ajak kolaborasi membangun desa," beber dia.

Puas berwisata kuliner dan menikmati sejuknya udara dan segarnya air, pengunjung dapat mencicipi varian durian, manggis hingga kopi.

"Rata-rata warga sini punya lahan, kebun, yang banyak manggis, durian, dan kopi. Jadi kita ajak untuk saling kerjasama," tuturnya.

"Kan di satu lahan ada duren, bawahnya manggis dan bawahnya lagi kopi, gitu. Jangka panjangnya kita ingin memberdayakan masyarakat membuka lapangan pekerjaan di sini," tambah Maya.

Maskiyah, seorang pengunjung yang datang  bersama rekan kerja dan keluarganya mengaku selain kangen dengan makanan tradisional khas, suasananya rindang juga sejuk. Apalagi, ditambah suara Tonggeret dan hewan lainnya, saling bersahut-sahutan.

Baca juga:
Disulapnya THP Kenjeran Surabaya jadi Wisata Ala Singapura Tuai Komentar

Masyarakat setempat menyebut serangga bernama ilmiah Cicadidea itu dengan sebutan Cenggeret.

"Makanan di sini khas, nasi goreng selada ada, pelasan tawon, tapi saya gak suka pete (petai). Khasnya lagi dengar suara-suara Cenggeret. Kalau di tempat lain gak ada suara gituan," ungkapnya.

Sedangkan nama Batu Hitam, kata suami Maya, Ali Imron mengatakan, dulunya ditempat tersebut terdapat sebuah pedepokan belajar mengaji dan berlatih ilmu kanuragan.

"Mendiang mertua saya dulu yang mengajar di padepokan batu hitam ini. Sekitar tahun 80 an dulu... kan banyak perampok dulu," katanya.

Namun, sepeninggalnya almarhum, mendiang ayah Maya, pedepokan batu hitam tidak dilanjutkan. Ali menambahkan, masyarakat sudah berubah, daerah menjadi aman.

"Sekarang ini kita buka untuk wisata keluarga, biar hidup dan banyak dikunjungi lagi tempat ini kayak dulu," harapnya.