Pixel Code jatimnow.com

Dewan Pers Sebut Media Profesional Perlu Dukungan Politik Pemerintah

Editor : Sandhi Nurhartanto   Reporter : Budi Sugiharto
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo

jatimnow.com - Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo menyebut media massa profesional tak bisa digantikan media sosial.

Saat ini tren di dunia, pemerintah hadir untuk menyelamatkan media massa profesional dari disrupsi. Namun diperlukan keberpihakan politik pemerintah untuk melindungi media massa-media massa profesional.

"Di Eropa, media yang cukup berhasil sustain untuk survive adalah media yang konsisten dengan locality dan proximity. Media yang semakin melokal, semakin dekat dengan pembacanya," kata Agus, dalam webinar yang menjadi rangkaian pembukaan Konferensi Wilayah II Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Timur, di Kota Batu, Sabtu (24/10/2020).

Media-media tersebut hidup dari iklan, berlangganan, dan mendapat donasi dari masyarakat, pemerintah lokal, maupun pengiklan. Mereka mengangkat isu-isu liputan yang sangat lokal dan memiliki hubungan dekat dengan pembaca.

Tren perkembangan media-media yang hidup dari donasi tersebut cukup positif.

"Yang menarik, yang mendonasikan bukan hanya publik tapi perusahaan-perusahaan. Perusahaan-perusahaan akhirnya punya kesadaran, bahwa media-media ini tetap dibutuhkan dan tidak boleh mati, karena perannya dalam menyajikan informasi yang bermartabat ternyata tidak bisa digantikan media sosial," kata Agus.

Namun media-media lokal tersebut tetap harus hidup dalam ekosistem media digital global.

"Ekosistem ini secara monopolistik dan oligopolistik sudah dikuasai platform-platform global: platform search engine, platform social media, maupun e-commerce global. Media-media lokal tadi tak sepenuhnya bisa berdiri sendiri, tapi harus in line dengan ekosistem global," kata Agus.

Fenomena ini sama dengan di Indonesia.

"Konon 80 persen iklan belanja iklan digital tidak dikuasai media lokal tapi platform global. Sehingga menarik, Facebook dan Google, pengaruhnya bukan lagi sebagai perusahaan karena sebagai perusahaan sudah tidak lazim. Artinya kemampuan ekonomi dia sudah melampaui apa yang disebut sebagai perusahaan dalam pikiran secara umum," kata pria asli Malang, kelahiran 8 Juni 1974 ini.

"Google, Facebook, Amazon ini seperti negara. Kekuatan ekonomi politik melakukan surveillance sudah tidak lazim untuk ukuran sebuah perusahaan. Dia sebuah negara sendiri. Bahkan kekuatan ekonomi politik Google dan Facebook mungkin lebih besar daripada kekuatan ekonomi negara-negara menengah ke bawah," tambahnya.

Agus menyarankan perlunya dukungan politik terhadap media-media lokal atau nasional.

"Harus ada aturan main yang berpihak kepada media-media lokal atau nasional, harus ada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah untuk memprioritaskan kerjasama dengan media-media nasional dan lokal yang profesional, yang terdaftar secara resmi di Dewan Pers, menaati kode etik, dan bisa menjalin hubungan sinergis tapi profesional dengan pemerintah pusat dan daerah," katanya.

Agus berharap pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik nasional menahan diri untuk beralih ke platform media sosial.

Baca juga:
AMSI Jatim Desak Polisi Usut Tuntas Kasus Pengeroyokan 2 Jurnalis di Bojonegoro

"Itu juga yang jadi concern Kelompok Kerja Keberlanjutan Media yang dibentuk Dewan Pers. Tujuannya membangun ekosistem media nasional yang berpihak media-media nasional atau lokal yang profesional," lanjut dia.

Berinvestasi di Media Massa Profesional, Selamatkan Masa Depan Peradaban

Saat ini muncul momentum perusahaan-perusahaan global kembali menoleh ke media massa profesional, setelah sebelumnya lebih sering memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk.

Korporasi-korporasi raksasa di Amerika mendukung kampanye Stop Hate for Profit. Gerakan ini sebenarnya diawali oleh lembaga swadaya masyarakat, namun belakangan justru korporasi-korporasi yang aktif bergerak.

"Para pemegang brand seperti Unilever, Starbuck, General Motor dan lain-lain sadar bahwa social media memberikan efektivitas dan skala pembaca yang luar biasa besar, tapi media sosial tidak bisa menangani persoalan hoaks dan ujaran kebencian," katanya.

Agus mencontohkan, Twitter tidak bisa berbuat apa-apa terhadap cuitan rasialis, diskriminatif, dan mengandung ujaran kebencian dari Presiden Donald Trump.

"Maksimal yang bisa dilakukan Twitter adalah memberikan label bahwa cuitan Trump itu tak layak dikonsumsi. tapi tidak bisa otomatis men-takedown cuitan-cuitan itu. Jadi social media termakan janjinya sendiri bahwa mereka akan melindungi kebebasan berpendapat setiap penggunanya," katanya

Baca juga:
Tema Kekinian Rakerwil 2022 AMSI Jatim yang Bakal Digelar di Kota Mojokerto

Pemegang merek-merek besar melihat ini sebagai sebuah masalah.

"Mereka tidak mau iklannya diasosiasikan dengan konten-konten yang mengandung rasialisme dan semacamnya. Google dikritik keras para pemegang brand karena YouTube tak bisa memastikan konten-konten rasialis segera di-takedown. Alih-alih konten rasialis nempel di iklan-iklan komersial yang dipasang Pepsi Cola, Walmart, dan lain-lain," kata Agus.

"Algoritma YouTube sangat cerdas dalam mengidentifikasi atau meregrouping penggunanya. Tapi tidak sensitif terhadap dampak algoritma tersebut terhadap imej branding," kata Agus.

Akhirnya muncul kesadaran bahwa media sosial bisa membahayakan citra sebuah produk.

"Di Eropa ada kesadaran baru pemegang brand, bahwa mereka harus berinvestasi di media massa yang relatif bisa dijaga keamanan kontennya, karena ada proses gate keeping, editing, sesuatu yang tidak terjadi di social media," kata Agus.

"Jadi berinvestasi di media massa profesional adalah berinvestasi untuk menyelamatkan masa depan yang baik, karena kalau terjadi disrupsi total dan media massa mengalami kemunduran, dan media sosial yang dominan di ruang publik, maka yang disebut sebagai hoaks, hate news, ujaran kebencian yang memecah belah itu yang lebih dominan dan lebih banyak mempengaruhi demokrasi kita. Itu sesuatu berbahaya bukan hanya terhadap media massa, tapi ruang publik, demokrasi, dan peradaban kita," tandasnya.