Pixel Code jatimnow.com

Ramadan Now

Gabut Tunggu Waktu Berbuka? Yuk Jalan-jalan ke Kota Tua Sidoarjo

Editor : Sofyan Cahyono   Reporter : Zainul Fajar
Bangunan kuno suasana tempoe doeloe.(Foto: Zainul Fajar)
Bangunan kuno suasana tempoe doeloe.(Foto: Zainul Fajar)

Sidoarjo – Dulunya, Sidoarjo bernama Sidokare dan masih menjadi bagian dari Surabaya. Hingga akhirnya pada 1859, Pemerintah Hindia Belanda membagi Kadipaten Surabaya menjadi dua. Yakni, Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Hal itu berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 9 Tahun 1859, tanggal 31 Januari 1859 Staatblad Nomor 6.

Namun, nama Sidokare dianggap memiliki konotasi kurang baik. Akhirnya Bupati Sidoarjo pertama R.T.P Tjokronegoro mengusulkan perubahan nama baru. Yakni dari Sidhokarie (Sidokare) menjadi Sidho-Ardjo (Sidoarjo). Penetapan perubahan tertuang dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1859 Nomor 10 Staadblad Tahun 1859 Nomor 32.

“Dokumen staadblad itu sampai sekarang masih tersimpan rapi di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sidoarjo,” ujar Plt. Kabid Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Dinas Kominfo Sidoarjo M. Wildan, Jumat (8/4/2022).

Bupati Sidoarjo pertama Raden Notopuro yang bergelar Raden Tumenggung Panji (R.T.P) Tjokronegoro I, bertempat tinggal di kampung Pandean kelurahan Kauman, Kecamatan Sidoarjo. Ia menjabat mulai 1859–1863. Kampung tersebut sekarang dikenal dengan kuliner kolak Srikaya yang rasanya manis dan hanya bisa dijumpai saat Ramadan saja.

"Makanan khas Ramadan warga Pandean Kauman ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Menjelang sore sebelum berbuka puasa, kawasan kota tua ini ramai orang ngabuburit. Salah satu yang jadi buruan yakni kolak Srikaya," kata Wildan.

Di kawasan kota tua, Tjokronegoro tinggal bersama keluarganya. pada 1859, kawasan Pandean menjadi tempat pusatnya perdagangan dan pemerintahan selama kurang lebih tiga tahun. Diperkirakan pada 1862, Bupati Tjokronegoro memindahan pusat pemerintahan ke kampung Wates, kelurahan Pucang. Saat berada di Pandean, Tjokronegoro sempat merenovasi bangunan Masjid Jami Al Abror.

Menurut dari cerita masyarakat sekitar, Bupati Tjokronegoro tinggal di rumah yang lokasinya berada di tepi Jalan Raya Gajah Mada menghadap ke arah Timur. Ada beberapa sumber yang menyebut, Toko Kain BIMA adalah bekas rumah dinas Bupati Sidoarjo R.T.P Tjokronegoro I.

“Bangunan itu sampai sekarang masih ada dan masih terjaga keasliannya. Sabtu 9 April, warga Sidoarjo bisa jalan-jalan menikmati suasana Tempo Doeloe di acara Gajah Mada Street Night yang digagas Bupati Gus Muhdlor," imbuhnya.

Kawasan kota tua kemudian menjadi identitas Sidoarjo Tempo Doeloe. Selain karena usia kampungnya yang tua, daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sidoarjo yang pertama periode 1859–1861. Bangunan-bangunan tua di kampung Pandean Kelurahan Kauman rata-rata bergaya kolonial Belanda.

Di kampung kolak Srikaya, masih banyak dijumpai bangunan-bangunan kuno yang usianya bahkan ada lebih dari 300 tahun. Misalnya, Masjid Jami Al Abror yang dibangun pada 1678. Jika dihitung, salah satu masjid paling tua di Sidoarjo itu sekarang sudah berusia 344 Tahun.

Baca juga:
Hore! 2 Warga Dapat Hadiah Motor Gebyar Vaksinasi Ramadan Polres Batu

Masjid Jami Al Abror.(Foto: Zainul Fajar)Masjid Jami Al Abror.(Foto: Zainul Fajar)

Masjid yang tidak pernah sepi dari aktivitas dakwah itu sudah mengalami beberapa kali renovasi. Kini masih menyisakan warisan sejarah dan budaya berupa gapura kuno yang berfungsi sebagai pintu masuk masjid di sisi sebelah utara.

Berdirinya Masjid Al Abror tidak bisa lepas dari keberadaan Mbah Muljadi, seorang tokoh ulama dari Demak, Jawa Tengah, yang diyakini warga sekitar merupakan pendiri Masjid Al Abror. Dalam pembangunannya, Mbah Muljadi dibantu tiga orang warga sekitar. Yakni, Mbah Sayyid Salim, Mbah Musa dan Mbah Badriyah. Keempat tokoh itu dimakamkan di sebelah Barat Masjid Jami Al Abror. Menjelang Ramadan, masyarakat sekitar banyak yang berziarah ke makamnya.

Selain seorang ulama, Mbah Muljadi juga diyakini merupakan orang pertama yang mengajarkan pembuatan batik tulis kepada warga Kampung Jetis Kelurahan Lemah Putro. Batik tulis Jetis diperkirakan mulai ada sekitar 1675. Usianya sudah 347 tahun, lebih tua dari Masjid Jami Al Abror.

Pada 2013, mahasiswa Program Magister Sipil Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang Rifky Aldilan bersama dengan dua kawannya, Antariksa dan Chistia Meidiana, meneliti bangunan-bangunan kuno di sepanjang Jalan Gajah Mada. Dalam penelitian, Rifky membaginya dalam tiga kelompok bangunan kuno. Yakni kelompok bangunan kuno bernilai kultural potensial tinggi, sedang dan rendah.

Baca juga:
Polisi Berkostum Power Rangers Bagikan Takjil di Jombang, Anak-anak Semringah

Rifky dkk mencatat ada 39 bangunan kuno di sepajang Jalan Gajah Mada Sidoarjo. Dari jumlah itu, terdapat 5 bangunan kuno bernilai kultural potensial tinggi. Yaitu Masjid Jami Al Abror, Toko Kain BIMA, Home Industri dan 2 Rumah Tinggal. Kemudian terdapat 10 bangunan kuno yang memiliki makna kultural potensial sedang. Yaitu, Toko Jam Cahaya Terang, Toko Sami Hasil, Mebel Lancar, Toko Rejo, Toko Pakaian dan beberapa bangunan kosong.

Sisanya sebanyak 24 bangunan masuk dalam kelompok kultural potensial rendah. Di antaranya, Toko Lambang Jaya, Toko Gajah Mada Gordyn, Toko Mia Ayam Chandra, Apotek Pangestu, Apotek Sidoarjo, Optik Internasional, Toko Air Mancur, Bengkel Garuda, Pusat Gadai, Toko Sumber Jaya dan lainnya, rumah tinggal serta bangunan kosong.

“Penilaian makna kultural bangunan kuno tersebut bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi bangunan yang nanti menjadi dasar bagi penentuan bentuk pelestarian untuk setiap bangunannya,” tulis Rifky dkk di dalam penelitiannya berjudul Karateristik Bangunan Kuno di Koridor Jalan Gajah Mada Sidoarjo.

Selain di sepanjang Jalan Gajah Mada, bangunan kuno juga banyak dijumpai di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, Jalan Hang Tuah dan Jalan Raden Patah.

“Diperkirakan ada ratusan bangunan kuno yang tersebar di kawasan kota tua ini,” jelas Wildan.