Pixel Codejatimnow.com

Cerita Hilangnya Jalur Pendakian dan Nenek Misterius Penunjuk Jalan

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Arina Pramudita
Ilustrasi jalur pendakian di Trawas, Mojokerto. (Foto: dok Arina Pramudita/jatimnow.com)
Ilustrasi jalur pendakian di Trawas, Mojokerto. (Foto: dok Arina Pramudita/jatimnow.com)

Mojokerto - Selasa malam di bulan Oktober tahun 2016, aku dan 6 orang temanku mengikuti briefing pendakian terencana untuk mengawal pelaksaaan program pendakian massal bagi pemula di Trawas, Mojokerto.

Dibagi dalam beberapa SRU, aku dan Azhar bertugas menjadi tim pioner. Fungsinya sebagai pencari lokasi camp yang aman bagi tim, sekaligus membersihkan area camp sementara.

Rabu subuh, kami menumpang mobil carter yang sudah disewa jauh-jauh hari. 14 orang yang terlibat dalam kegiatan, turun di sekitar Desa Ketapanrame untuk lanjut berjalan kaki ke pos Perhutani setempat, mengurus simaksi sebagai izin masuk kawasan.

Sesuai rencana, begitu izin dikantongi, aku dan Azhar memulai pendakian lebih dulu sekitar pukul 07.00 WIB. Sementara 12 orang lainnya, berlatih fisik sekaligus aklimatisasi perubahan suhu tubuh dari dataran rendah ke dataran tinggi.

Memikul beban 30 Kg di tas kerir masing-masing, perjalanan dimulai dengan melewati kontur jalan berbatu yang menanjak. Belum 20 menit berjalan, nafas mulai tersengal.

"Dit, buka peta sek. Ambil jalan memotong, supaya kita bisa sampai lebih cepat," ujar Azhar padaku.

"Roso-rosone (rasa-rasanya) kalau kita ambil kanan bisa menghemat waktu 30 menit buat sampai di lokasi sesuai briefing kemarin," tambahnya.

Aku bergegas meraih tabung berisi peta, melihat jalur di depan mata dan menyamakannya dengan aneka simbol legenda di peta. Tepat! Sesuai ucapan Azhar, ada jalur yang meski curam dan terjal bisa menghemat waktu untuk segera sampai. Artinya, tugas sebagai pioner bisa terlaksana dengan baik.

"Kita jalan lagi 200 meter lalu ambil turunan ke kanan. Nanti ada persimpangan, kita bisa pilih jalur yang lurus menanjak," jelasku padanya.

Sekitar 60 menit mendaki, kami menjumpai persimpangan sekitar 10 meter di depan. Karena mulai kelelahan, Azhar meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Kami mengestimasi waktu tibanya kelompok, sekitar pukul 15.00 WIB. Artinya masih punya cukup banyak waktu untuk meregangkan otot-otot yang sudah berteriak ini. Apalagi jam digitalku masih menunjukkan pukul 10.30 WIB.

Aku mengeluarkan dua potong roti dan botol minum untuk disantap bersama. Beberapa kali, kami mendengar gonggongan anjing liar dari kejauhan. Aku dan Azhar saling pandang, tapi rasa lapar mengalahkan kekhawatiran kami.

Bekal penambah tenaga sudah ludes. Azhar menyalakan sebatang rokok sembari melanjutkan berkemas. Aku merapikan tali sepatu, bersiap melangkah lebih cepat.

Baru berjalan 4 meter, aku dan Azhar saling tatap. Persimpangan yang tadinya di depan mata, tiba-tiba lenyap tak terlihat. Kami berlari mendekati pohon tinggi besar yang semula ada di kanan persimpangan.

Sambil mengais tanah, kami kebingungan mencari jalur yang tadi tampak jelas. Mana mungkin setapak sebesar itu hilang dalam 15 menit saat kami beristirahat.

"Sek-sek (sebentar), ojok sampe kedaden maneh (jangan sampai kejadian lagi)," celetuknya.

"Opo? Dalan ilang? Lah ancene sopo sing isok nggondol dalan? (Apa? Jalan hilang? Memang siapa yang bisa mencuri jalan?)" balasku heran.

Sekitar 10 menit kami dibuat bingung dengan jalur yang tiba-tiba hilang. Sampai ntah dari mana datangnya, dari kanan Azhar melintas ke arah berlawanan seorang nenek berusia sekitar 80 tahun sedang memanggul kayu bakar.

Aku seketika mendekati nenek itu dan bertanya arah ke Panjeran, sebuah nama lokasi yang menurut rencana menjadi titik camp awal kami. Tanpa suara, nenek tersebut tersenyum ramah dan menunjuk pohon besar yang sedari tadi sudah kami kelilingi.

"Mboten wonten, Mbah. Disitu kan mestine wonten dalan...." belum usai Azhar melanjutkan ucapannya, tepat di kiri pohon besar tadi, ada sebuah setapak selebar 1,5 meter.

"Astaghfirullah. Nyuwun pangapunten Gusti Allah," pekikku dalam posisi hampir bersimpuh.

Belum jua mengucapkan terima kasih, nenek yang tadi menunjukkan jalan tiba-tiba pergi entah ke mana. Aku mengusap tengkuk, sementara Azhar cuma bisa diam.

Baca juga:
Jalur Pendakian Arjuno-Welirang Kembali Dibuka Setelah 6 Bulan Tutup

Penampakan Gunung Welirang dari dataran tinggi di Trawas, Mojokerto.Penampakan Gunung Welirang dari dataran tinggi di Trawas, Mojokerto.

Tanpa banyak kata, kami lanjut mendaki melintasi jalur yang tadinya sempat raib itu. Dalam pikiran masing-masing, aku yakin banyak sekali keheranan yang ingin diutarakan. Tapi kami memilih tenang, toh waktu masih siang. Kejadian mistis harusnya tidak ada saat masih terang benderang.

Satu jam berjalan, aku tertinggal 2 meter di belakang Azhar dan lebih banyak menunduk sepanjang mendaki. Sampai ketika, brukk, aku menabraknya yang tetiba berhenti.

Aku mengintip dari balik tubuh jangkungnya dan melihat dua ekor anjing warna hitam tengah melihat tak suka ke arah kami.

"Dit, piye (bagaimana)? Aku nggak sakti melawan mereka," kelakarnya seakan mengurai takut.

"Dibagi roti ae piye? Sopo ngerti luwe (Diberi roti aja gimana? Siapa tahu mereka lapar)," jawabku ngasal.

Begitu sadar bukan waktunya bercanda, aku berjalan mendahuluinya. Berusaha mendekati anjing itu diikuti langkah Azhar di belakangku.

Sambil komat-kamit, aku berusaha setenang mungkin melewati anjing yang lebih mirip hewan pemburu itu. Untungnya, mereka tetap tenang meski suara gonggongan terus keluar dari moncong bergigi tajam itu.

"Ayo Zhar, lebih cepat jalanmu, kita bisa kalah cepat kalau mereka lari," ujarku pelan.

Seperti sedang memainkan peran di film horor, ada saja adegan di mana pemain film terjatuh saat terburu-buru dikejar hantu. Azhar meringis, kakinya terkilir tersandung akar besar yang menyembul ke tanah.

Aku melihat arloji, sudah jam 1 siang. Batas waktu tiba di Panjeran tinggal 1 jam lagi untuk kami cleaning area. Aku memaksanya berjalan pelan, sembari beberapa kali membopongnya.

Baca juga:
Pendakian Gunung Arjuno-Welirang Ditutup Dampak Cuaca Ekstrem

"Dit, kita tadi lupa nggak salat dzuhur. Apa jangan-jangan ini yang bikin sial?" ucapnya.

Aku memilih tidak menjawab. Kami terus berjalan sampai ada suara gemericik air dari kejauhan. Jika tepat, itu pasti suara sungai yang mengalir di sisi selatan Panjeran.

Azhar memacu kakinya yang manja sejak terkilir, aku mengikutinya sambil berlari. Giliran kaki pendekku meringis diajak balapan di jalur terjal.

Tak lama, aku mendengar teriakan seseorang yang menyebut nama kami berdua. Aku berlari kencang menembus rumput liar yang tingginya menutupi pandangan mata. Mendekati muasal suara tersebut.

"Kalian dari mana? kenapa jam segini baru terlihat? Lho, kenopo iki?" teriak Udha, senior kami yang bertugas sebagai tim logistik.

"Kejadiannya panjang, mas. Sebentar, aku butuh atur nafas," jawabku sebal diberondong banyak pertanyaan.

"Lha iki wis hampir magrib. Makanya kami bagi tim buat nyari kalian," teriak Udha, terlihat dia sangat panik sekaligus lega.

Azhar yang mendekat, terkaget-kaget. Ia pucat melihat jarum jam tangannya berputar terus tanpa arah. Entah kami dipermainkan waktu, atau memang sudah takdirnya mengalami kejadian tak masuk akal. Tapi, mana mungkin kami menempuh perjalanan selama itu. Apalagi jam tangan tiba-tiba seperti kehilangan fungsi.

"Sudah sudah, Alhamdulillah kalian selamat. Ayo ke camp, kami tadi yang sudah cleaning area untuk tim," tegas Udha.

Aku dan Azhar memilih menurut, mengikuti Udha dari belakang. Dalam hati kami, Tuhan begitu sayang pada kami setelah apa yang terjadi hari itu.