Surabaya - Ketua Republik Ludruk Indonesia (RLI) Erland Setiawan menyatakan, ludruk muncul sebagai alat perjuangan di zaman kolonial. Kala itu, arek-arek Suroboyo berjuang untuk hal yang lebih baik melalui guyonan satir, menggelitik, namun tetap etis. Sekarang pun, Erland mengaku mempunyai prinsip tidak bergantung pada pemerintah.
"Pemerintah mau peduli atau tidak peduli, ya ludruk harus berjuang sendiri. Peduli yo alhamdulillah tak tampani (diterima), gak peduli yo gak masalah. Karena awal Ludruk pun juga berjuang sendiri. Ludruk menghidupi dirinya sendiri," katanya.
"Lek zaman biyen misale karena musuhe Jepang, dadi ngudoroso karo kidungane tentang yok opo carane wong-wong ngelawan Jepang. Di antaranya saat itu yang melakukan Cak Durasim, dibantu Munali Fatah dan kawan-kawan, di 1943 dengan memunculkan ludruk organisasi yang saat itu memakemkan remo, kidungan, jula-Juli, dan masih banyak lagi (Kalau zaman dulu misalnya karena musuhnya Jepang. Jadi ngudoroso sama kidungan tentang bagaimana caranya orang-orang bisa melawan Jepang. Di antaranya saat itu yang melakukan Cak Durasim, dibantu Munali Fatah dan kawan-kawan, di 1943 memunculkan Ludruk organisasi yang saat itu memakemkan remo, kidungan, jula-juli, dan masih banyak lagi)," lanjutnya.
Di Indonesia, Erland menyatakan ada beberapa komunitas Ludruk. Di antaranya Luntas, Balada, hingga Abiyoso. Dari gabungan komunitas itulah kemudian terbentuk induk komunitasnya, yakni Republik Ludruk Indonesia.
"Jadi istilahnya memberikan standart ludruk kekinian, gak oleh ngawur, gak oleh niru konvensional, dan banyolane lebih ke lawakan yang sarat dengan materi, bukan dagelan. Misale, kami bahas sekolahan, ya bahas sekolahan, gak oleh mblarah tekan nandi-nandi, tematik lah, karena beda. kalau dagelan ke arah jongkrok-jongkrok'an, sloroh, porno, dan verbal fisik lain, nah itu yang kami hindari. (Tidak boleh ngawur, tidak boleh menjiplak yang konvensional, dan arahnya lebih ke lawakan yang sarat dengan materi, bukan dagelan. Misalnya, kita bahas sekolahan, tidak boleh meluas ke mana-mana, tematik lah. Kalau dagelan ke arah fisik, itu kita hindari)," ujar dia.
Baca juga:
Banjarkemantren Juara 1 Penghargaan Aksi Gemilang 2023 Disporapar Sidoarjo
Maka dari itu, pemain ludruk saat ini dituntut lebih cerdas dan adaptif. Terlebih dengan keresahan masyarakat dan isu terkini di sekitar.
"Intine guyon sing cerdas lah, kecuali itu tema atau materi, seje maneh. (Intinya, bercanda yang cerdas lah, kecuali itu tema atau materi ya beda lagi)," tutur dia.
Baca juga:
Menikmati Kidungan Jula-Juli di Waroeng Joglo Merah Putih
Total kelompok ludruk di Surabaya, sebut Erland, mencapai 12. Jumlah itu terdiri dari pelajar, komunitas, hingga konvensional.
"Ada komunitas yang cenderung ke anak-anak muda, konvensional yang mempertahankan pakemnya ludruk jaman dulu, pelajar, dan mahasiswa," kata dia.(Bersambung)