Pixel Codejatimnow.com

Menengok Proses Panjang Produksi Kecambah Ale di Jombang, Laris tapi Sulit Bahan

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Elok Aprianto
Kecambah ale buatan warga Desa Bandung, Kecamatan Diwek. (Foto-foto: Elok Aprianto/jatimnow.com)
Kecambah ale buatan warga Desa Bandung, Kecamatan Diwek. (Foto-foto: Elok Aprianto/jatimnow.com)

jatimnow.com - Saat sayur lodeh, maka kita akan menemukan bahan dapur yang mirip taoge tapi ukurannya lebih besar. Ya, itu namanya kecambah ale.

Kecambah ale ini terbuat dari biji buah ripung atau klampis. Tanaman ini biasanya tumbuh subur di hutan. Namun untuk menemukan biji klampis ini sangatlah sulit. Adanya hanya di daerah hutan Nusa Tenggara Timur. (NTT)

Kecambah jenis ini ternyata diproduksi puluhan warga di Dusun Sugihwaras, Desa Bandung, Kecamatan Diwek. Untuk itu, para perajin harus mendatangkan biji klampis sebagai bahan baku pembuatannya. Salah satu warga yang memproduksi kecambah aleh adalah Nurul Hidayati (45).

"Tempat produksinya ada di belakang, di wilayah sini ada puluhan yang buat kecambah ale," ungkap Nurul, Kamis (6/10/2022).

Ia menjelaskan, di belakang rumahnya, terdapat sebuah ruangan khusus. Ruangan ini gelap, cenderung pengap dan lembab. Di dalamnya, terdapat puluhan kotak kayu dan keranjang besar. Seluruhnya ditutup dengan karung dan goni.

"Kotak-kotak ini berisi kecambah ale. Ukurannya beragam, mulai yang baru tumbuh akar, hingga sudah siap panen, masing-masing beda, karena prosesnya kan tidak barengan," katanya.

Nurul menjelaskan, seluruh kecambah ale ini memang akan dipanen setiap hari, begitupun produksinya. Karena tak bisa selesai instan. Perlu adanya perawatan khusus, agar bisa dipanen setiap hari.

"Kecambah-kecambah ini bisa dipanen setiap hari. Tapi prosesnya panjang mas, paling tidak seminggu baru bisa jadi dan siap jual. Bahannya ini didatangkan dari luar daerah untuk bisa membuat kecambah ale. Tumbuhnya liar di hutan, saya dapat di Banyuwangi bahkan di NTT," paparnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, biji klampis yang berwarna cokelat dan keras ini, mula-mula harus dicuci dan direndam air. Proses ini, untuk melunakkan kulit luarnya hingga bijinya mengembang.

"Proses perendaman ini biasanya dua sampai tiga jam, pokoknya sampai medak atau mengembang, ada juga yang sampai harus diulang dua kali biasanya," bebernya.

Biji klampis lalu disortir dengan cara diayak menggunakan ember plastik berlubang. Biji yang terpilih, ini didiamkan semalaman dalam karung-karung plastik, hingga muncul bibit akar.

Baca juga:
Fakta Bus Pahala Kencana Terbakar di Tol Jombang-Mojokerto

"Kalau sudah mecungul putih itu, terus dipindah di kotak dan keranjang," tegasnya.

Setelah tahap ini, sambung Nurul, calon kecambah ini harus dijaga kelembabannya. Tak boleh terlalu panas atau kering agar hasil kecambahnya tetap berwarna kuning.

"Harus tertutup dan kotak penyimpanannya ditutup lapisan karung berlapis. Harus disiram juga, sehari dua kali, pagi dan sore," terang Nurul.

Setelah usianya sekitar enam hari, baru kecambah ale ini bisa dipanen. Biasanya, pertumbuhannya sudah cukup besar dengan batang dan akar yang sudah lebih panjang.

"Kecambah ale yang sudah dipanen, dikeluarkan dari kotak penyimpanan untuk disortir. Harus dipisahkan dengan kulit kerasnya, baru setelah itu dikemas masing-masing satu kilogram," ucapnya.

Untuk melakukan tahap ini, ia mengaku tidak bisa dilakukan satu orang, sedikitnya ada dua orang. Dan dalam sehari, ia mengaku bisa memproduksi satu kuintal kecambah ale. Setelah itu, kecambah ale ini dijual suaminya Darul Mahfud (43) ke pasar di Sidoarjo.

Baca juga:
8 Caleg Lolos DPRD Jatim dari Dapil 10, Ada Istri Mantan Wabup Jombang

"Kirimnya ke Pasar Krian, Sidoarjo, setiap malam berangkat. Untuk harganya per kilogramnya Rp14 ribu kalau sekarang," sambungnya.

Ia mengaku kecambah ale ini sangat laku di pasaran. Namun kesulitan utamanya adalah ketersediaan bahan baku. Sejak 10 tahun lalu, ia mendatangkan bahan baku dari Banyuwangi.
"Saat itu bahan baku juga masih cukup murah, masih di harga Rp5-6 ribu per kilogramnya," katanya.

Ia menjelaskan lima tahun belakangan ini, Banyuwangi tak bisa lagi menyediakan bahan baku biji klampis. Ia dan sejumlah perajin kecambah ale di desanya, akhirnya menemukannya kembali di wilayah NTT.

"Beberapa bulan lalu, nyaris seluruh produsen kecambah tak bisa lagi memproduksi kecambah ale dengan lancar. Sempat sebulan kehabisan bahan baku, harganya ale juga sempat naik sampai Rp40 ribu per kilogram gara-gara itu," paparnya.

Ia mengaku gara-gara bahan baku sulit didapatkan, ongkos produksinya jadi naik lantaran harus membayar orang untuk bekerja di tempat asal buah klampis didapat.

"Mulai mencari buah klampis sampai penggilingannya, para perajin kecambah ale harus mau menanggungnya. Untuk itu kita kerjakan orang di NTT, bahan bakunya jadi naik Rp15 ribu perkilogramnya sekarang. Satu kilogram bibit itu kan nanti bisa jadi 2-3 kilogram ale," pungkasnya.