Pixel Codejatimnow.com

Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya Dicurhati Penyandang Disabilitas Soal Ini

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Ni'am Kurniawan
Reses bersama Ajeng Wira Wati di Simokerto (Foto: Ajeng for jatimnow.com)
Reses bersama Ajeng Wira Wati di Simokerto (Foto: Ajeng for jatimnow.com)

jatimnow.com - Suara penyandang disabilitas mewarnai reses yang dilakukan Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya Ajeng Wira Wati yang digelar di Balai RW 9 Tambak Madu, Kelurahan Simokerto, Kecamatan Simokerto, Surabaya.

Di sana, Ajeng mendapat keluhan tentang kurangnya pemberdayaan Pemkot Surabaya terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dari para disabilitas.

"Begitu banyak program dan anggaran Pemkot yang saya sampaikan ternyata minim untuk peningkatan kesejahteraan penyadang disabilitas. Beliau menyatakan dengan tegas, disabilitas itu tidak ingin dikasiani, tetapi menanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani problem kesempatan disabilitas, jangan sampai membuat mereka termarjinalkan atau bahkan tidak terlihat," papar Ajeng, Selasa (18/10/2022).

Peran terhadap kaum disabilitas dirasakan terakhir pada tahun 2019. Yakni setiap orang dijatah dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), namun hingga kini belum ada isinya.

Menurut Ajeng, peran disabilitas yang diminimalisir itu, membuat mereka hanya bisa bekerja di sektor informal. Seperti membuka warung kopi, dan menjahit.

Baca juga:
Bawaslu Surabaya Tegaskan Dilarang Kampanye saat Reses, tapi Faktanya?

"Saya akan sampaikan dan meminta ada program terintegrasi mengenai penangan disabiltas khususnya untuk MBR dan DTKS supaya tidak ada lagi luput bantuan dan pendampingan pemerintah," kata politisi Gerindra Jatim itu.

Selain suara disabilitas, Ajeng juga mengaku banyak warga yang masih mempertanyakan tentang surat ijo, PDAM yang belum merata, PJU, dan bantuan kesejahteraan dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang masih kosong.

Baca juga:
DPRD Surabaya Disambati soal Zonasi Sekolah hingga BPJS

"Saya dan komisi sudah menggagas stikerisasi bagi penerima intervensi pemerintah, baik pusat dan daerah. Tetapi ada miss di penamaan, kita meminta stikerisasi untuk transparansi menjauhi salah sasaran penerima sehingga yang tercetak harusnya stiker," tandasnya.

"Penerima manfaat ini bukan keluarga miskin, kata miskin tidak perlu disebut tetapi dicantumkan saja Undang-undang, Permensos dan Perwali mengenai kriteria penerima bantuan apa saja. Dengan embel-embel miskin dikhawatirkan orang tersebut putus asa, jadi pemerintah harus sesuaikan saran dan aspirasi dari warga ini," pungkasnya.