Pixel Codejatimnow.com

Tradisi Mocoan dan Mamaca di Jawa Timur Kian Pudar, BRIN Lakukan Ini

Editor : Zaki Zubaidi  
Masyarakat saat melaksanakan tradisi mocoan. (Foto: Mashuri for jatimnow.com)
Masyarakat saat melaksanakan tradisi mocoan. (Foto: Mashuri for jatimnow.com)

jatimnow.com - Masyarakat Indonesia mewarisi ribuan manuskrip kuno yang memiliki nilai-nilai penting, baik yang terkait dengan agama, budaya, dan ilmu pengetahuan. Manuskrip-manuskrip tersebut adalah bukti adanya tradisi literasipada nenek moyang bangsa Indonesia sejak masa lalu.

Selain itu, warisan manuskrip tersebut juga menunjukkan bagaimana kontak antarbudaya dan identitas sekaligus harmonisasinya dilakukan para leluhur bangsa melalui tradisi literasi.
Manuskrip-manuskrip tersebut tidak hanya menjadi warisan yang “disimpan”, tetapi beberapa manuskrip tersebut masih digunakan dalam tradisi-tradisi pembacaan manuskrip di beberapa kelompok masyarakat.

Tradisi mocoan dan mamaca adalah dua dari sekian banyak tradisi membaca manuskrip yang ada di Indonesia. Mocoan adalah tradisi membaca manuskrip kuno yang dilakukan masyarakat adat Osing di Banyuwangi Jawa Timur.

Sedangkan mamaca adalah tradisi membaca manuskrip yang dilakukan masyarakat Madura, baik yang ada di Pulau Madura, maupun di beberapa wilayah tapal kuda Jawa Timur, seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi.

Dua tradisi ini juga menunjukkan adanya fenomena “manuskrip hidup” (livingmanuscript) dalam kehidupan masyarakat.

Tradisi ini dilakukan dengan cara dilagukan (ditembangkan) dengan aturan-aturan puisi Jawa yang diadaptasi oleh masyarakat setempat. Kesamaan kedua tradisi ini adalah sama-sama dilakukan dengan cara ditembangkan.

Sementara perbedaannya, jika mamaca menggunakan penerjemah untuk menjelaskan makna bait-bait tembang dalam bahasa Madura (yang disebut dengan teghes), maka mocoan tidak ada orang yang menjelaskan teks.

Dua tradisi pembacaan manuskrip ini melekat dalam siklus kehidupan masyarakat yang dilakukan saat ritual-ritual tertentu, seperti saat ritual menjelang acara pernikahan, sunatan, maupun bersih desa.

Namun, dua tradisi ini mengalami krisis keberlanjutan karena kurangnya generasi penerus yang mau melanjutkannya atau memiliki kemauan dan keterampilan dalam melakukan mocoan dan mamaca.

Untuk itulah para peneliti dari Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset terhadap dua tradisi membaca manuskrip di Jawa Timur tersebut.

Tim peneliti beranggotakan Agus Iswanto, M. Agus Noorbani, Mahmudah Nur, Mashuri, Wiwin Indiarti, dan Fiqru Mafar. Ini adalah riset kolaboratif antara para peneliti BRIN dengan peneliti di perguruan tinggi di Banyuwangi dan Jember.

Baca juga:
SIG Raih Best Paper Award dalam Riset Sustainability Kelas Dunia

Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 17 hingga 30 Oktober di Banyuwangi (Universitas PGRI Banyuwangi) dan Jember (UIN KHAS Jember).

Riset di Banyuwangi dilakukan di Kecamatan Glagah yang masih terdapat para pelaku mocoan, sedangkan di Jember dilakukan di Kecamatan Kalisat yang juga masih terdapat tokoh pelaku mamaca.

Selain mengalami krisis keberlanjutan, sehingga perlu dicari formula melestarikan tradisi ini, para peneliti juga berupaya melihat model harmonisasi budaya yang teraktualisasi dalam dua tradisi tersebut.

Sehingga dapat menjadi model bagaimana harmonisasi keragaman budaya dapat dilakukan melalui mekanisme tradisi masyarakat setempat.

"Sebab, selain karena ketiadaan penerus tradisi, kemungkinan besar tantangan terhadap kelestarian tradisi ini juga datang dari masalah pemikiran relasi antara agama, budaya, dan modernitas," ungkap Mashuri, salah satu penelitin BRIN, dalam siaran pers, Kamis (3/11/2022).

Baca juga:
UIN Satu Gandeng BRIN Tingkatkan Kolaborasi Riset di Kawasan Tunggal Rogo Mandiri

Dari wawancara dengan tokoh-tokoh mocoan dan mamaca, terlihat harapan adanya generasi yang mau melanjutkan tradisi membaca manuskrip kuno ini.

“Saya sangat senang kalau ada anak muda yang mau belajar mamaca dan melanjutkan tradisi ini,” ucap seorang tokoh mamaca di Kalisat, Jember.

Riset ini strategis secara praktis karena diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang model harmonisasi budaya yang pernah dan terus dilakukan di masyarakat akar rumput melalui “mekanisme tradisi” yang hidup hingga sekarang.

Hal ini dalam rangka untuk meningkatkan kemanfaatan objek pemajuan kebudayaan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Selain itu, hasil riset ini secara praktis juga memberikan contoh bagaimana sikap akomodatif terhadap budaya lokal dalam konteks moderasi beragama sebagaimana yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama.