Pixel Codejatimnow.com

Dalang Remaja Tulungagung Resah, Lawakan Lebih Ditunggu Ketimbang Cerita Wayang

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Bramanta Pamungkas
Hazil Abirama saat berlatih di Taman Budaya Tulungagung. (Foto: Bramanta Pamungkas/jatimnow.com)
Hazil Abirama saat berlatih di Taman Budaya Tulungagung. (Foto: Bramanta Pamungkas/jatimnow.com)

jatimnow.com - Pertunjukan kesenian wayang kulit kini telah mengalami kemajuan. Beberapa instrumen pendukung seperti campursari dan lawakan, mulai dimasukkan agar penonton tetap menonton wayang kulit.

Namun penonton saat ini cenderung lebih menikmati lawakan dan campursari dibandingkan cerita yang disajikan oleh para dalang. Keresahan ini yang dirasakan oleh puluhan dalang yang tergabung dalam Komunitas Dalang Remaja Tulungagung (Kodrat).

Ketua Kodrat, Hazil Abirama (19) mengatakan total anggota komunitas ini sebanyak 25 orang. Mereka merupakan dalang mulai dari tingkat SD hingga SMA. Para dalang ini dulunya merupakan alumni Festival Dalang Pelajar yang digelar secara rutin oleh Pemkab setempat.

"Komunitas ini berdiri pada tahun 2019, isinya dalang muda dari tingkat SD hingga SMA," ujarnya, Senin (7/11/2022).

Para dalang remaja ini memiliki keresahan tersendiri terkait pertunjukkan kesenian wayang kulit. Mereka melihat terdapat pergeseran dalam pertunjukkan tersebut. Masuknya unsur tambahan seperti seni campursari dan lawakan membuat pertunjukkan ini tampak berbeda. Akibatnya penonton justru banyak menunggu penampilan campursari dan lawakan dalam pementasan wayang kulit.

"Saat ini tidak lagi menanyakan siapa dalangnya, tapi banyak yang tanya lawakannya nanti siapa yang pentas," tuturnya.

Baca juga:
Rayakan Tutup Tahun, Warga Jember Terbangkan Layang-layang di JLS Puger

Menurut Mahasiswa ISI Surakarta jurusan Pedalangan ini, seharusnya penonton banyak menikmati pementasan wayang kulit yang disiapkan oleh para dalang. Kondisi tersebut menjadi otokritik tersendiri bagi dalang remaja.

Mereka dituntut untuk semakin mengasah kemampuannya dalam berbagai hal seperti sabetan, catur dan suluk. Selain itu mereka mencoba menghadapi kondisi ini dengan mempersingkat durasi pementasan lawakan dan campursari.

"Kalau cerita sudah masuk 3/4 baru mereka ditampilkan, hal ini untuk menyiasati agar penonton paham lakon yang dibawakan dalang, soalnya mayoritas penonton buyar setelah pertunjukkan lawak dan campursari," ungkapnya.

Baca juga:
20 Tahun Ormas Oi Surabaya Masih Eksis Beri Manfaat bagi Masyarakat

Sementara itu, mantan Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Tulungagung, Ki Budi Plandang menilai para dalang remaja ini memiliki kemampuan lebih. Beberapa diantarnya mempunyai keahlian yang lebih bagus dibanding seniornya. Meskipun begitu kemampuan tersebut tetap harus diasah lagi. Karena usia mereka masih remaja, diharapkan mampu membawakan lakon yang sesuai dengan umurnya.

"Pendampingnya harus berperan, kalau bisa mereka membawakan lakon yang sesuai dengan usianya, lakon seperti pernikahan dan lainnya tidak perlu dibawakan," pungkasnya.