Pixel Code jatimnow.com

Pendakian Mistis di Gunung Anjasmoro: Masuk Hutan Keramat, Menuju Desa Terkutuk

Editor : Narendra Bakrie   Reporter : Zainul Fajar
Foto saat awal pendakian Gunung Anjasmoro (Foto: Dok. Zainul Fajar/jatimnow.com)
Foto saat awal pendakian Gunung Anjasmoro (Foto: Dok. Zainul Fajar/jatimnow.com)

jatimnow.com - Pertengahan Tahun 2017 lalu tepatnya pada akhir bulan Juni, saya bersama tiga senior organisasi kampus melakukan pendakian di Gunung Anjasmoro via Carangwulung, Wonosalam, Jombang.

Pendakian awal dimulai tepat pukul 13.00 WIB. Dari tempat parkiran kami memulai berjalan membawa keril melewati perkebunan warga. Formasi pendakian saat itu adalah Iyung berada di depan, selanjutnya Izzi, ketiga Ikhlas, dan terakhir saya.

Awalnya tidak ada yang aneh. Setelah melewati perkebunan warga, Iyung meminta untuk istirahat sebentar. Ia mengatakan kalau rasa lelahnya tiba-tiba datang. Ikhlas yang saat itu sebagai leader kami mengiyakannya.

Setelah 15 menit istirahat, Iyung tampak masih belum fresh. Ia menggerutu bahwa kepalanya sakit dan pusing secara tiba-tiba. Iyung menidurkan badannya di jalur pendakian sembari meminta waktu istirahat lebih lama kepada kami, agar pusingnya hilang.

Perdebatan antara Ikhlas dengan Izzi mulai terdengar. Izzi meminta perjalanan tetap dilanjutkan agar cepat menuju puncak, tapi Ikhlas berusaha menenangkannya.

Kami berhenti cukup lama, lebih dari sejam seingat saya. Sampai waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, akhirnya Ikhlas memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan kesepakatan bahwa tas keril milik Iyung akan dibawanya bergantian dengan saya. Iyung saat itu hanya membawa botol tupperware berisi air minum.

Perjalanan mulai aneh setelah itu, Iyung mendadak menjadi orang yang sangat pendiam. Di sepanjang perjalanan menuju pos 1 yang katanya hanya memakan waktu 30 hingga 45 menit dari parkiran, tapi tak kunjung kami temui hingga maghrib tiba sekira pukul 18.00 WIB.

"Cak, jarene mek 45 menit tekan pos ngisor? Iki awakdewe mlaku ket mau wes petang jam sampek maghrib kok durung nemu Pos 1 Kancil? (Mas, katanya cuman 45 menit dari bawah? Kita sudah jalan empat jam sampai maghrib kok masih belum nemu Pos 1 kancil?)" tanyaku kepada Ikhlas.

"Sabar. Iku mau awakdewe suwe pas istirahat ndukure perkebunan. Maringene sampek. (Sabar. Itu tadi kita memang lama saat istirahat setelah perkebunan. Setelah ini juga sampai)," jawabnya.

Kami baru sampai di Pos 1 Kancil pukul 19.00 WIB. Saya yang kesal saat itu, meminta Ikhlas untuk mendirikan tenda dan memulai pendakian kembali esok hari. Namun Izzi lagi-lagi menyangkalnya. Dia tetap meminta kalau perjalanan tetap harus dilanjutkan agar segera menuju puncak.

"Oke. Awakdewe nggae tendo nang kene, engko jam 10 bengi dilanjut mlakue. (Oke. Kita mendirikan tenda di sini. Nanti sekitar jam 10 malam kita lanjut lagi jalannya)," pinta Ikhlas.

Iyung semenjak setelah istirahat tadi menjadi pendiam, wajahnya pucat. Dia bahkan tidak berkata apapun selain mengangguk dan menggelengkan kepala. Dia hanya menjawab ketika kami bertanya, setelah itu ia kembali mengunci mulutnya rapat-rapat dengan pandangan kosong.

"Cak Ikhlas, deloken tala, Iyung iku gakpopo ta? (Mas Ikhlas, coba lihat, Iyung tidak apa-apa kan)," tanyaku.

"Sudah jam 10 malam, ayo dikemasi, kita berangkat," timpalnya.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Tepat pukul 22.30 WIB, kami kembali mengangkat keril dengan tujuan Pos 2 Salwa dan Pos 3 Bambu. Sepanjang perjalanan, Iyung tak berhenti menggerutu. Ia seperti berbicara tapi tidak jelas berbicara dengan siapa.

Menurutku, perjalanan begitu berat, dari Pos 1 Kancil kami berjalan menanjak selama 3 jam memasuki hutan bambu. Jalannya setapak dengan jalur zig-zag menaiki anak tangga yang terbuat dari bambu.

Kupikir, kami telah memotong kompas dengan memasuki hutan bambu. Pikir kami saat itu, kami sudah dekat dengan Pos 3 Bambu tanpa melalui Pos 2 Salwa.

"Cak, iki gak beres. Kita 3 jam dari Pos 1 nggak nemu-nemu pos selanjutnya," bisikku kepada Ikhlas, tapi ia tidak pedulikan.

Pikiranku saat itu campur aduk. Pertama adalah perjalanan terasa sangat jauh padahal kalau melihat lamanya estimasi waktu, seharusnya sudah sampai di Puncak Bayangan.

Kedua, anehnya dari pos awal pendakian hingga melewati pos 1, kami hanya bertemu dua orang pendaki tanpa keril dan hanya menggunakan kaos larik khas Jawa zaman duhulu serta menyapa kami di perjalanan.

"Cak, mandek, aku pegel (Mas, berhenti, aku capek)," pintaku kepada Ikhlas.

Baca juga:
Misteri Penyebab Lubang di Dasar Sungai Kaliasat Blitar Terungkap

Seperti sebelumnya, Izzi meminta Ikhlas agar perjalanan tetap dilanjutkan agar bisa sampai puncak lebih awal. Namun, Ikhlas yang sudah mengetahui ada keanehan di perjalanan kami. Ia pun memutuskan untuk kembali berhenti di jalur pendakian yang curam dengan struktur seperti anak tangga, tapi hanya jalur setapak dan hanya muat untuk satu orang.

"Iki onok seng gak beres. Awakdewe mandek sek (Ini ada yang tidak beres. Kita berhenti dulu)," jawab Ikhlas.

Kami berhenti pukul 01.30 WIB di jalur pendakian. Badan lelah, Iyung tetap dengan ngobrol tidak jelas dengan siapa, Izzi tetap dengan ambisinya menuju puncak. Dan saya hanya diam menghela nafas yang terasa ngos-ngosan karena trek jalan yang menanjak tak ada habisnya tersebut.

Gunung Anjasmoro (Foto: Wikipedia)Gunung Anjasmoro (Foto: Wikipedia)

Perdebatan antara Ikhlas dengan Izzi kembali terdengar di sela-sela kami beristirahat. Saya kembali merasakan firasat yang tidak enak. Tidak seperti hutan di gunung pada umumnya. Di hutan bambu tempat kami berhenti, tidak ada suara hewan apapun. Kabut tipis juga seakan mengikuti setiap kami berjalan.

"Fix, awakdewe kudu mbalik. Iki wes gak beres, paling enggak awakdewe tekan ngisor isuk (kita harus kembali. Ini sudah nggak beres, paling tidak kita sampai bawah pagi hari)," tegas Ikhlas.

Sekitar ukul 03.00 WIB, mau tidak mau kami harus turun menuju ke bawah. Kami merasa bahwa pendakian kami kali ini sudah tidak wajar karena hampir 12 jam berjalan, kami belum menemukan pos lagi setelah pos 1. Sejauh mata kami memandang, hanya hutan bambu dan jalur zig-zag seperti anak tangga menuju ke atas yang entah menuju kemana

Beberapa menit saat kami kembali turun, Ikhlas terperosok ke dalam jurang bambu. Izzi yang panik hanya bisa berteriak dan menangis melihat suaminya. Saya yang saat itu tak berada jauh di belakang Ikhlas langsung meraih tangannya.

"Ojok culno tanganku, ojok culno. Awakku kenek carang kabeh, sikilku wes gak keroso opo-opo blas. Iki jurang ngisorku (Jangan lepaskan tanganku, jangan lepaskan. Sekujur tubuhku terkena duri bambu, kakiku tidak merasakan pijakan apa-apa, di bawahku ini jurang)," teriak Ikhlas.

"Iyung.. Jancok Yung.. Ewangono aku Yung. Ojok meneng ae ket mau (Iyung.. bantuin aku. Jangan diam saja dari tadi)," aku membentak ke arah Iyung.

Baca juga:
Mitos Gunung Pegat Ponorogo, Calon Pengantin Ada yang Berani Melanggar?

Iyung seketika sadar, dan menanyakan kenapa kok dirinya sampai di sini dan tidak memakai keril seperti awal berangkat.

"Lho.. onok opo iki? Kok isok tibo nang jurang iki mau kenek opo? (Lho.. ada apa ini? Kok tiba-tiba masuk jurang kenapa?)” tanya Iyung.

Akhirnya dibantu Iyung, Ikhlas berhasil kami angkat ke atas. Kami lega tiada tara dan bersyukur Ikhlas masih bisa selamat. Tak berselang lama dari kejadian itu, kami kembali bergegas ke bawah.

Kami begitu lega ketika berhasil keluar dari hutan bambu itu. Derap langkah kaki kami begitu cepat untuk menuju ke bawah. Anehnya lagi, selama hampir berjam-jam melewati curamnya hutan bambu, kami turun dan berhasil ke bawah hanya dalam waktu 30 menit.

Suara azan subuh akhirnya terdengar di telinga kami. Itu artinya kami sudah dekat dengan perkampungan warga. Kami kembali berjalan turun begitu cepat agar bisa selamat dan kembali ke pos pendakian awal. Dan benar, kami kembali melihat perkampungan warga tepat pagi sekitar jam 06.00 WIB. Kami sampai di pos pendakian awal tepat pukul 08.00 pagi.

Setelah 5 tahun memendam cerita perjalanan ini, saya kemudian bercerita kepada salah satu junior di kampus yang kebetulan rumahnya tak jauh dari Gunung Anjasmoro.

Darinya, kami akhirnya mengetahui bahwa saat itu kami telah tersesat memasuki hutan keramat yang beranama "Alas Roro Kromo". Apabila kami meneruskan pendakian itu, kami akan berada di satu desa yang terkutuk yang bernama "Desa Mahkota Prabu".

Warga setempat meyakini bahwa, barang siapa yang memasuki "Desa Mahkota Prabu" dan ia belum keluar sampai pagi menjelang, besar kemungkinan ia akan tinggal selamanya di sana.

 

Penulis adalah wartawan jatimnow.com